Kasus Perburuhan
Kasus PHK PT Mafahtex
PT Mafahtex Kota Pekalongan akhirnya diwajibkan membayar pesangon kepada tujuh karyawannya yang dikenai PHK Rp 34,02 juta. Putusan itu dilakukan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) Jakarta yang dikirimkan ke Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Pekalongan, kemarin.
Kepala Disnakertrans Kota Pekalongan Sofyan Adnan SH menyebutkan, putusan P4P itu sampai ke Disnakertrans kemarin dan saat itu juga langsung disampaikan ke PT Mafahtex dan para karyawan dengan didampingi Serikat Pekerja Nasional (SPN).
Keputusan P4P itu menguatkan putusan P4D Jateng yang dikeluarkan 14 September 2004. Putusan P4P pada 19 April 2005 ini ditandatangani Ketua Drs S Sianturi dan Panitera Inneke M Siregar SH.
Perincian pesangon Rp 34,02 juta itu untuk tujuh mantan karyawan, yakni Ratih Murtiningsih Rp 6,8 juta, Rizkiyah Rp 3,27 juta, Finiyati Rp 4,605 juta, Winarti Rp 4,605 juta, Maysaroh Rp 5,05 juta, Casmin Rp 4,605 juta, dan Temu Rp 5,05 juta.
Dengan putusan itu, Mafahtex wajib membayar sesuai dengan putusan. Sebab jika itu tidak dilakukan, para pekerja dikenai PHK bisa mengajukan eksekusi ke Pengadilan Negeri (PN). Dan, tentu PN sudah tidak akan mengadakan sidang lagi kecuali hanya agar berembuk tentang pembayarannya.
Mengenai kasus PHK tersebut, ujar dia, terjadi 10 Mei 2004 dengan alasan perusahaan mengurangi pekerja karena mengalami kerugian atau tidak ada modal usaha. Awalnya dilakukan PHK pada 37 karyawan. Dari sejumlah itu, 30 pekerja sudah menerima pesangon melalui musyawarah bipartit antara perusahaan dan pekerja sedangkan delapan lainnya tidak mau menerima. Alasan penolakan, pesangon yang diberikan dinilai terlalu kecil dan tidak sesuai dengan UU Nomor 13/2003.
Merugi
Putusan itu menyebutkan, pengusaha telah mengajukan permohonan izin PHK dengan alasan perusahaan merugi dan tidak ada modal usaha. Itu juga sesuai dengan audit dari tim auditor akuntan publik Drs Tahrir Hidayat yang menunjukkan keadaan perusahaan tidak sehat/merugi.
Atas hal tersebut, sesuai dengan Pasal 154 ayat 1 UU Nomor 13/2003, perusahaan dapat melakukan PHK dengan ketentuan pekerja berhak atas uang pesangon satu kali ketentuan pasal 156, uang penghargaan masa kerja sekali, uang penggantian hak sekali, dan hak-hak pekerja yang belum diberikan.
Ketua SPN Kota Pekalongan M Bowo Leksono yang ditemui mengatakan, putusan P4P itu akan mengikat PT Mafahtex untuk memberikan pesangon kepada tujuh anggotanya yang dikenai PHK sepihak. "Jika tidak mau membayar, jelas SPN akan mendampingi karyawan untuk mendaftar ke PN agar mengeksekusi PT Mafahtex membayar pesangon itu," ungkapnya didampingi tujuh karyawan yang dikenai PHK.
Sementara itu, Direktur PT Mahfatex H Malul Akbar tidak berada di kantornya. Wakilnya, Herman, mengatakan, keputusan itu belum diketahui pimpinannya.
"Kami sebagai wakil perusahaan masih akan menyampaikan putusan itu kepada Pak Malul terlebih dulu. Sebab, sampai sekarang beliau belum ada kebijakan dari perusahaan, apakah akan membayar atau tidak," paparnya.
Kasus Pesangon PT Firta Sari Jaya
PALU- Setelah dilakukan negosiasi terhadap perusahaan yang mengadakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap Maryono, karyawan PT Firta Sari Jaya, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang eksploitasi bahan galian golongan C, akhirnya menerima tuntutan pesangon sebesar Rp 1 juta.
Kesepakatan itu, dilakukan kedua belah pihak pada tanggal 9Agustus 2001 lalu DPRD Kota Palu yang memanggil Kasubdin Hubinsyaker Dinas Kependudukan Catatan Sipil dan Tenaga Kerja Dra Hj Maswati tinggal menerima data dan surat kesepakatan tersebut.
Ketua Komisi A bidang Pemerintahan dan Keamanan DPRD Kota Palu Usman Maranua SH mengaku dalam heanng (dengar pendapat) Senin (13/8) yang dihadiri Kadis Kependudukan catatan Sipil dan Tenaga Kerja Arifrn Hi Lolo SH, KTU Nirman J Kasubdin, Hubinsyaker Dra Hj Maswati dan Kasi Perselisihan Nurhayati M Purba tinggal menerima berkas kesepakatan kuasa hukum korban PHK Muh Rasyidi Bakry SH dan pimpinan PT Firta Sari Jaya B Sitourus.
Dalam kesepakatan tersebut Maryono melalui kuasa hukumnya mencabut seluruh tuntutannya dan menerima uang pesangon yang diberikan perusahaan itu sebesar Rp 1 juta atau lebih kecil dibandingkan haknya yang harus diterimanya sebesar Rp 2 juta lebih. Menurut Usman alasan perusahaan tidak memenuhi tuntutan itu disebabkan kondisi perusahaan yang sudah pailit dan tidak mempunyai kegiatan lagi. Akibatnya, kontribusi yang didapat perusahaan dari kegiatannya sudah nihil.
Makanya, kata Usman, untuk membayar dan memenuhi tuntutan korban itu, PT Firta Sari Jaya sudah tidak mampu lagi. Melihat kondisi itu Maryono terpaksa menerima uang pesangon yang tidak sesuai dengan tuntutannya. Meskipun begitu, kata Usman, selama pihaknya menangani permasalahan di Kota Palu baru kali ini penyelesaian kasus PHK secepat ini. “Kami hanya membutuhkan waktu selama 20 menit telah selesai. Boleh dikatakan, kami hanya menerima berkas atau dokumen kesepakan saja,” jelas Usman.
Kasus PT Panen Lestari Internusa
Jakarta - PT Panen Lestari Internusa dituding menggunakan data palsu mengenai 214 pekerja di Sogo Plaza Indonesia yang telah disalurkan ke perusahaan lain. Menurut Andika selaku wakil ketua Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Hotel, Restoran, Plaza, Apartemen, Katering, Retail, dan Pariwisata, hanya sekitar 50 pekerja yang dipindahkan. "Kami sudah 2 kali meminta data tersebut dari pengusaha, tapi tidak diberikan," kata Andika usai persidangan di Pengadilan Hubungan Industrial, Jl MT Haryono, Jakarta, Kamis (21/6/2007). Sidang kasus PHK pekerja di Sogo Plaza Indonesia ini berlangsung dengan agenda mendegarkan keterangan saksi Palris Jaya selaku ketua umum FSPM. Dituturkan Andika, ada 3 opsi yang diberikan pengusaha, yaitu PHK dengan pesangon, dipekerjakan kembali di Mitra Adi Perkasa (MAP), dan sekuriti yang di-PHK dijamin mendapat pekerjaan di tempat lain. "Tawaran itu hanya formalitas. Inti dari tawaran ya PHK. Bukan tawaran bekerja namanya kalau bekerja di luar Sogo. Kalau dimutasi ke MAP haknya berubah. Tiga opsi itu tipu muslihat," ujarnya. Ditegaskan dia, pekerja bukan mempermasalahkan pesangon. Masalah pertama, dasar PHK itu tidak jelas. Kedua, perhitungan gugatan kompensasi menyalahi fakta yang ada. "Dari 53 karyawan, kini tinggal 45 yang masih memperjuangkan haknya. Delapan orang lainnya sudah mundur dan menerima pesangon," urainya. BantahSementara Andi Anawawi selaku pengacara PT Panen Lestari Internusa usai sidang membantah penggunaan data palsu. Dijelaskan dia, dari 316 pekerja yang di-PHK, ada 214 pekerja yang disalurkan ke perusahaan lain. Sedangkan 79 pekerja lainnya mengundurkan diri. Alasannya tempat domisili yang jauh dari tempat tugas. Sementara 53 orang menolak 3 opsi yang diberikan. "Karyawan hanya ingin memilih pekerjaan yang sesuai dengan keinginan mereka. Dia ingin di-PHK tapi memilih pekerjaan yang dia suka," ujar Andi
Kasus PT The Master Steel dan PT Pangeran Karang Murni (PKM)
Jakarta - Gerimis siang hari di Jakarta menjadi saksi PHK mendadak 2.100 buruh PT The Master Steel dan PT Pangeran Karang Murni (PKM) yang berlokasi di Jl Pegangsaan II Pulogadung, Jakarta Utara. Ribuan buruh produsen baja beton ini diberhentikan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Surat pemberitahuan PHK bernomor 039/DIR/MS-PKM/VI/2007 ditandatangani langsung oleh Direktur Utama Istanto Burhan diterima buruh pagi hari ini. Ribuan buruh pun tertahan di luar pagar pabrik. Mereka tak berbuat banyak mendapat PHK sepihak itu. Buruh hanya duduk-duduk ditemani rintik hujan. "Kami tidak terima. Ini benar benar mendadak. Katanya pabrik pailit, itu nggak mungkin. Selama ini proses produksi berjalan normal. Anak perusahaan juga beroperasi normal," kata Cahyo, Ketua Serikat Pekerja PT PKM, Selasa (5/6/2007). Atas PHK mendadak ini, ratusan polisi terlihat berjaga-jaga mengamankan lokasi kedua perusahaan yang dalam satu area itu. Terbilang 400 polisi dari kesatuan Brimob menenteng senjata laras panjang. Dari Polda Metro Jaya sebanyak 250 personel diterjunkan, Reskrim 50 polisi, dan selebihnya dari Provoost, Gegana dan Kodim 0502 Jakarta Utara. Tampak pula kawat berduri disiapkan di pintu masuk pabrik. Pengamanan ini dinilai berlebihan oleh para buruh. "Ini sudah termasuk tekanan psikis dan intimidasi kepada buruh. Padahal kami tak melakukan apa-apa. Mogok kerja pun tidak," ujar Cahyo
Kasus PHK Karyawan LippoStar
Lippo sebagai pihak pengusaha LippoStar menyatakan tetap akan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada 35 karyawannya, dengan alasan perusahaan terus merugi. Namun Serikat Karyawan LippoStar (SKL) menilai alasan itu tidak mencukupi, sehingga bisa dikatakan pihak pengusaha gagal menjelaskan alasan penutupan LippoStar.
Pertemuan antara SKL dan kuasa hukumnya dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia dengan pihak Lippo di Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Kota Tangerang, dua hari kemarin ternyata tidak membuahkan kesepakatan. Bahkan kedua pihak akan membawa permasalahan tersebut ke jenjang penyelesaian yang lebih tinggi di Depnaker, yakni P4P.
Demikian, Ketua Serikat Karyawan Lippostar, Sudirman, mengutarakan kepada SH, Jumat (8/11) di Jakarta. “Belum ada kesepakatan. Kita memang menyerahkannya ke P4P dan jika memang tidak ada juga kesepakatakan, ya mau tak mau ke ‘meja hijau’,” papar Sudirman.
Toto Trihamtoro SH, wakil kuasa hukum PT Linknet, anak perusahaan Lippo, mengatakan, perusahaan terus merugi, sehingga dilakukan penutupan. Kesepakatan dengan karyawan juga sulit dicapai sehingga meminta pihak ketika yaitu Dinas Tenaga Kerja.
Namun alasan merugi ini tidak bisa diterima SKL mengingat, menurut disain awalnya, LippoStar yang didirikan pada pertengahan 2000 diproyeksikan sebagai investasi jangka panjang bagi Lippo, yang diperkuat oleh dokumen resmi dari Boston Consulting Group yang menjadi konsultan Lippo yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut didirikan untuk menunjang bisnis e-commerce, sehingga disebutkan LippoStar diperkirakan akan mengalami cashflow negatif hingga tahun ketujuh, dan mengalami titik impas (BEP) murni pada tahun ke-10.
“Dalam bisnis awalnya, LippoStar memang tidak pernah diharapkan untuk untung dalam waktu dekat. Pada mulanya sebuah bisnis integrasi, ada yang satu untuk umpan sehingga memang belum untung, yang lainnya untuk segera untung,” ujar Budiarto Danudjaja dari SKL.
Budiarto menambahkan, Lippo sudah siap untuk merugi selama 7 (tujuh) tahun. Kesiapan ini diucapkan langsung oleh petinggi Lippo, Billy Sindoro, di hadapan semua karyawan pada 20 Juli 2000 bahwa Lippo siap menopang bisnis LippoStar selama tujuh tahun walaupun merugi.
Wakil Pengusaha
Sebelumnya, pada awal pertemuan SKL mempertanyakan posisi Toto Trihamtoro sebagai kuasa hukum pengusaha karena dalam surat kuasa disebutkan jabatan Toto adalah HRD Manager dari PT AsiaNet, sedangkan dalam dokumen lain, Toto disebutkan sebagai pengacara dari sebuah konsultan hukum. Selain itu, SKL mempertanyakan adanya tagihan sebanyak Rp 20 juta rupiah ke PT LinkNet, Rp 10 juta untuk consultan fee Toto Trihamtoro & Partner, dan Rp 10 juta berikutnya untuk advance payment untuk pengurusan PHK melalui Depnaker. Menurut pengakuan Sri Suprapti, pejabat Disnaker Kota Tengerang, pihaknya tidak menerima sepeserpun uang dari Lippo.
Kasus PT. Securicor
Berawal pada tanggal 19 juli 2004 lahirlah sebuah merger antara Group 4 Flack dengan Securicor International di tingkat internasional. Terkait dengan adanya merger di tingkat international, maka para karyawan PT. Securicor yang diwakili oleh Serikat Pekerja Securicor Indonesia mengadakan pertemuan dengan pihak manajemen guna untuk membicarakan status mereka terkait dengan merger di tingkat Internasional tersebut. Akan tetapi pertemuan tersebut tidak menghasilkan solusi apapun, dan justru karyawan PT. Securicor yang semakin bingung dengan status mereka. Bahwa kemudian, Presiden Direktur PT Securicore Indonesia, Bill Thomas mengeluarkan pengumuman bahwa PHK mulai terjadi, sehingga divisi PGA dan ES telah menjadi imbasnya, yang lebih ironisnya adalah ketua Serikat Pekerja Securicor cabang Surabaya di PHK karena alasan perampingan yang dikarenakan adanya merger di tingkat internasional.Yang memutuskan rapat itu adalah Branch manager Surabaya.
Pada tanggal 8 Maret 2005. PHK ini mengakibatkan 11 karyawan kehilangan pekerjaan. Proses yang dilakukan ini juga tidak prosedural karena tidak ada anjuran dari P4P seperti di atur dalam UU tahun 1964 tentang PHK di atas 9 orang harus terlebih dahulu melaporkan ke instansi (P4P). Akan tetapi pihak PT. Securicor dan kuasa hukumnya, Elsa Syarief, SH, selalu mengatakan tidak ada merger dan tidak ada PHK, akan tetapi pada kenyataanya justru PHK terjadi. Mengacu pada hal tersebut dengan ketidak jelasan status mereka maka karyawan PT. Securicor memberikan surat 0118/SP Sec/IV/2005, hal pemberitahuan mogok kerja kepada perusahaan dan instansi yang terkait pada tanggal 25 April 2005 sebagai akibat dari gagalnya perundingan tentang merger (deadlock).
Persoalan ini terus bergulir dari mulai adanya perundingan antara manajemen PT. Securicor Indonesia dengan Serikat Pekerja Securicor Indonesia (SPSI) dimana pihak perusahaan diwakili oleh Leny Tohir selaku Direktur Keuangan dan SPSI di wakili oleh Fitrijansyah Toisutta akan tetapi kembali deadlock, sehingga permasalahan ini ditangani oleh pihak Disnakertrans DKI Jakarta dan kemudian dilanjutkan ke P4P, dan P4P mengeluarkan putusan dimana pihak pekerja dalam putusannya dimenangkan.
Fakta dari P4p
1. Agar pengusaha PT.Securicor Indonesia, memanggil dan mempekerjakan kembali pekerja Sdr. Denny Nurhendi, dkk (284 orang) pada posisi dan jabatan semula di PT. Secdurocor Indonesia terhitung 7 (tujuh) hari setelah menerima najuran ini;
2. Agar pengusaha PT.Securicor Indonesia, membayarkan upah bulan mei 2005 kepada pekerja sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang;
3. Agar pekerja sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang, melaporkan diri untuk bekerja kembali pada pengusaha PT.Securicor Indonesia terhitung sejak 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat anjuran ini;
Akan tetapi pihak perusahaan tidak menerima isi putusan tersebut. Kemudian perusahaan melakukan banding . dan melalui kuasa hukumnya Elsza Syarief, S.H., M.H. memberikan kejelasan bahwa perusahaan tidak mau menerima para karyawan untuk kembali bekerja dengan alasan Pihak Perusahaan sudah banyak yang dirugikan dan para pekerja sendiri menolak untuk bekerja kembali sehingga sudah dianggap mengundurkan diri. Ternyata ungkapan tersebut tidak benar dan itu hanya rekayasa perusahaan karena selama ini berdasarkan bukti-bukti yang ada bahwa para pekerja sama sekali tidak minta untuk di PHK dan tidak pernah mengutarakan kepada kuasa hukum perusahaan soal pengunduran diri atapun mengeluarkan surat secara tertulis untuk minta di PHK. Justru kuasa hukum dari perusahaan menganggap para karyawan telah melakukan pemerasan dan melakukan intimidasi. Dan itu kebohongan besar. sebab berdasarkan bukti pihak pekerja hanya meminta pihak pengusaha untuk membayar pesangon sebanyak 5 PMTK apabila terjadi PHK massal dan ternyata perusahaan tidak merespont. Adapun terkait dengan aksi demo yang dilakukan oleh para serikat pekerja adalah untuk meminta :
Dasar Tuntutan
1. Bahwa pekerja tetap tidak pernak minta di PHK. Akan tetapi apabila terjadi PHK massal maka para pekerja minta untuk dibayarkan dengan ketentuan normative 5 kali sesuai dengan pasal 156 ayat 2,3 dan 4 UU No. 13 tahun 2003
2. Bahwa Penggugat melakukan pemutusan hubungan kerja bertentangan dengan pasal 3 ayat (1) UU No. 12 tahun 1964 karenana penggugat mem-PHK pekerja tidak mengajukan ijin kepada P4 Pusat
3. Bahwa para pekerja meminta uang pembayaran terhitung dari bulan juli 2005 dan meminta dibayarkan hak-haknya yang selama ini belum terpenuhi.
Perjalanan kasus ini telah melewati proses-proses persidangan di P4 Pusat yang telah diputus pada tanggal 29 Juni 2005, dan putusan itu telah diakui dan dibenarkan oleh Majlis Hakim Pengadilan Jakarta yang telah diambil dan dijadikan sebagai Pertimbangan hukum. Kemudian dengan melalui pertimbangan Pengadilan Tinggi Jakarta pada hari Rabu, tanggal 11 Januari 2006 harumnya keadilan telah berpihak kepada buruh (238 karyawan) dan Majlis Hakim menolak isi gugatan penggugat untuk seluruhnya. Dan kondisi sekarang pihak perusahaan, melalui kuasa hukumnya tersebut telah mengajukan permohonan kasasi. dan surat tersebut telah diberitahukan ke PBHI sebagai pihak termohon kasasi II Intervensi, dengan putusan yang telah diputuskan bisa menjadi nilai-nilai keadilan, kebenaran dan kejujuran yang sejati.
Force Majeur Relatif Muncul dalam Kasus PHK Karyawan Sogo
PHK terhadap 51 orang pekerja Sogo Plaza Indonesia berlanjut ke Pengadilan Hubungan Industrial. PHK dilakukan karena alasan keadaan memaksa. Perdebatannya, apak saja yang masuk kategori keadaan memaksa.
Masalah itu pula yang mencuat dalam sidang lanjutan perselisihan 51 orang pekerja dengan PT Panen Lestari Internusa (PLI) di Pengadilan Hubungan Industrial, Kamis (10/5) pekan lalu. Kedua pihak sebenarnya sudah berusaha menyelesaikan urusan lewat Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta. Namun PLI tidak setuju anjuran Disnakertrans agar perusahaan membayar pasongan dua kali lipat.
PLI hanya bersedia membayar satu kali. Menurut perusahaan ini, PHK terpaksa dilakukan karena terjadinya keadaan memaksa atau force majeur. Keadaan memaksa itu sifatnya relatif alias force majeur relatif. Para pekerja menolak, sehingga PLI mengajukan gugatan.
Tak mau kalah, para pekerja juga mendaftarkan gugatan. Mereka tak bersedia dibayar dua kali gaji, melainkan menuntut untuk dipekerjakan kembali. Namun dalam perjalanan, gugatan ini dicabut. Para pekerja memilih berkonsentrasi meladeni gugatan PLI. Mereka meminta kepada majelis hakim untuk membayar upah pekerja yang terhenti sejak Maret lalu.
Keadaan memaksa relatif yang mendasari PHK dimaksud adalah pemutusan perjanjian sewa dari PT Plaza Indonesia Realty Tbk pada 28 Februari 2007. Plaza Indonesia ingin mengubah konsep gerai dari food hall menjadi good hall gourmet. Kuas hukum PLI Andi Abdurrahman Nawawi mengatakan bahwa force majeur yang menimpa PLI adalah keadaan memaksa related. Ia mengakui bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya mengenal force majeur absolute seperti bencana alam. Namun, keadaan memaksa yang menimpa kliennya tak bisa dihindari. “Tangan PLI terikat,” ujarnya memberi perumpamaan. Ia menganalogikan yang dialami kliennya dengan keadaan memaksa akibat perubahan undang-undang.
Sayang, ketika ditanya Hukumonline lebih jauh tentang keadaan memaksa relatif tersebut, Nawawi menolak menjelaskan. “Ini bagian dari strategi kami. Akan kami saat pembuktian nanti,” tandasnya.
Pekerja menolak
Argumen PLI tetap ditolak ke-51 pekerja. Mereka menolak PHK karena dasar keadaan memaksa relatif yang disebut Nawawi tidak valid. Para pekerja mengutip Pasal 61 huruf d UU Ketenagakerjaan, bahwa keadaan memaksa ialah kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial atau gangguan keamanan.
Andika, salah wakil pekerja mempertanyakan alasan diputuskannya perjanjian sewa sebagai force majeure PLI, “Yang ada cuma perubahan konsep”. Menurut dia, pemiliknya perusahaan tetap sama, yang berubah hanya konsep. Selain itu, sejak awal force majeure tidak pernah dijadikan argumen oleh pengusaha. Hal ini penelusuran hukumonline dimana dalam berkas jawaban tidak disebutkan secara detail mengenai adanya keadaan memaksa. Demikian pula saat perundingan bipartid dan proses mediasi. Tetapi ketika persidangan PHI, unsur keadaan memaksa menjadi muncul.
Ditegaskan Andika, para pekerja secara tegas menolak setiap bentuk PHK. Agar tidak diPHK, Andika mengusulkan agar dia dan rekan-rekannya ditempatkan di gerai Sogo yang ada di luar Plaza Indonesia seperti Sogo Kelapa Gading, Sogo Mal Pondok Indah II, Sogo Plaza Senayan, Sogo Food Hall Senayan City, dan Sogo Food Hall Grand Indonesia.
Buruh menuntut, majikan yang menentukan. Keinginan pekerja akan kemungkinan dipekerjakan ditempat lain tersebut ditampik oleh PLI. Menurut PLI dalam gugatannya, ada 214 orang pekerja di Sogo yang sudah agak dipaksakan penempatannya di cabang lain. Pengacara PLI, Nawawi, menjelaskan bahwa pekerja tidak dapat memaksakan keinginannya kepada manajemen.
“Pekerja maunya apa? Kami bingung. Kami tidak bisa kalau mempekerjakan mereka sesuai dengan posisi sebelumnya dan sesuai dengan keinginan mereka, karena akan mengorbankan orang lain. Kenapa mereka tidak mau di PHK dan kemudian ditaruh ditempat lain?” ujar Nawawi.
Selain itu Nawawi juga berpandangan akan banyak kecemburuan dari pekerja lain bila para pekerja ditempatkan di jabatan baru yang lebih rendah dengan upah dan tunjangan yang tetap. Saat ditanyakan dugaan pekerja bahwa PLI mulai mempekerjakan orang lain melalui outsourcing, Nawawi menukas, “Itu kasus lain lagi”.
Mutasi Adalah Hak Mutlak Perusahaan, PHK Wartawan 'Kompas' Sah
Karyawan sudah pernah menandatangani pernyataan bersedia ditempatkan dimana saja. Menolak mutasi berarti sama saja melanggar syarat perjanjian kerja.
Raut kekecewaan tampak diwajah Bambang Wisudo, wartawan Kompas divisi Humaniora itu di-PHK sejak Kamis (30/08). Majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta mengabulkan gugatan PHK yang dimohonkan Kompas dengan dalil Bambang menolak mutasi.
Bambang mengajukan protes terhadap mutasi karena mutasi dinilainya terkait erat dengan aktivitasnya sebagai Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK). Mutasi dilakukan oleh Kompas saat dirinya sedang dalam proses negosiasi dengan manajemen agar para karyawan mendapatkan hak 20% saham Kompas. Selain berkeberatan karena menganggap ini adalah perselisihan hak yang harus diputus sebelum perselisihan tentang PHK, dipersidangan Bambang juga berusaha membuktikan bahwa mutasi dilakukan karena memperjuangkan hak karyawan atas saham. Dalam jawaban dan gugtan rekompensinya terhadap Kompas ia meminta tetap dipekerjakan.
Syahdan, pada 15 November 2006 Kompas telah melakukan mutasi terhadap lima puluh satu pekerja, termasuk Bambang Wisudo yang dikirm ke Ambon. Lima puluh pekerja menerima mutasi kecuali dirinya yang mengajukan protes.
Bambang yang protes atas mutasi kemudian sempat melakukan protes dan menyebarkan selebaran. Lantaran Kompas menganggap pekerja menolak mutasi, Bambang kemudian diskors dan menerima surat PHK. Setelah itu Kompas mengajukan gugatan PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta. Majelis hakim yang diketuai Heru Pramono mengabulkan gugatan PHK tersebut karena Bambang dianggap melanggar perjanjian kerja.
Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat inti persoalan adalah Kompas melakukan kebijakan mutasi. Pertanyaan kuncinya apakah Bambang menolak atau melakukan tawar menawar. Hakim menyatakan mutasi tidak diatur dalam perjanjian kerja. Peraturan perusahaan saat itu juga telah kadaluarsa. Di media itu juga tidak ada perjanjian kerja bersama, meski ada serikat pekerja.
Berdasarkan pada surat pernyataan calon koresponden daerah yang pernah ditandatangani Bambang pada 29 Agustus 1990, majelis kemudian menganggap mutasi merupakan hak mutlak dari Kompas. Surat pernyataan itu dianggap Hakim sebagai bagian dari syarat perjanjian kerja kepada Bambang. Dalam surat pernyataan itu Bambang menyatakan bersedia ditempatkan dimana saja.
“Dalam hal ini penggugat telah menggunakan hak tanpa syarat untuk melakukan mutasi. Penolakan mutasi dianggap sebagai penolakan untuk terus bekerja” ujar salah seorang anggota majelis. Karena Bambang dinilai melakukan pelanggaran atas perjanjian kerja, ia pun mendapatkan satu kali pesangon, penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak dengan total Rp167.408.150,-. Upah bulanan selama proses terus dibayar Kompas.
Motif mutasi Kompas yang dicurigai Bambang karena aktivitasnya di PKK, tidak dipertimbangkan oleh majelis. Aktivitasnya di serikat pekerja sempat disinggung oleh hakim dan dianggap sebagai hak dari Bambang yang dilindungi oleh Undang-Undang Serikat Pekerja. Hakim juga terdengar agak menyalahkan Bambang soal ketiadaan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di Kompas yang seharusnya dapat dirundingkan.
Surat Pernyataan
Kuasa hukum Bambang, Sholeh Ali keberatan atas putusan hakim. Menurut dia surat penyataan tahun 1990 itu tidak mengikat seperti PKB PP atau perjanjian kerja. Menurutnya hal ketenagakerjaan hanya diatur dalam PKB, PP, atau perjanjian kerja, hakim juga menyatakan mutasi tidak ada aturannya di Kompas. “Kalau ia dianggap melanggar, harusnya diatur dalam ketiganya, selain itu tidak ada” ujarnya.
Kuasa hukum Kompas, Denny Wijaya, mengaku tidak terkejut atas putusan, karena mutasi dan PHK sesuai dengan prosedur. Soal surat pernyataan Bambang, Denny sependapat dengan hakim yang menyatakan surat pernyataan sebagai syarat perjanjian kerja “Hakim menyatakan ketika melanggar surat pernyatan dia melanggar Perjanjian Kerja” ujarnya.
Bambang, menyayangkan alasan pokok mutasi tidak dipertimbangkan. “Padahal alasan pokok mutasi tidak disinggung. Mutasi dilakukan karena dendam pribadi beberapa orang manajemen Kompas dalam soal kesepakatan dengan karyawan” ujarnya. Meski kurang percaya dengan proses hukum, Bambang menyatakan akan kasasi terhadap putusan ini.
Dengan tidak dipertimbangkannya aktivitas Bambang di SP sebagai penyebab mutasi, Denny berkesimpulan hal tersebut tidak terbukti. Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menganggap putusan PHI dalam perkara Bambang Wisudo ini tidak memberikan perlindungan bagi Serikat Pekerja.
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Pasal 150
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pasal 151
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetu-juan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 152
(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.
Pasal 153
(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pasal 154
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal :
a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
d. pekerja/buruh meninggal dunia.
Pasal 155
(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Pasal 156
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut :
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai be-rikut :
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 157
(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas :
a. upah pokok;
b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.
(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota.
(4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.
Pasal 158
(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut :
a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 159
Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 160
(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut :
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
b. untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh perseratus) dari upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan takwin ter-hitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/ buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5) dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja sebagai-mana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 161
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 162
(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak me-wakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat :
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa pene-tapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 163
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi peru-bahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 164
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 165
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 166
Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 167
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun se-bagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.
(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/premi-nya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ti-dak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 168
(1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara ter tulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
(2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.
(3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 169
(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut :
a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3).
Pasal 170
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi keten-tuan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.
Pasal 171
Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.
Pasal 172
Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Direferensi dari beberapa site di internet untuk kepentingan akademis
PT Mafahtex Kota Pekalongan akhirnya diwajibkan membayar pesangon kepada tujuh karyawannya yang dikenai PHK Rp 34,02 juta. Putusan itu dilakukan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) Jakarta yang dikirimkan ke Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Pekalongan, kemarin.
Kepala Disnakertrans Kota Pekalongan Sofyan Adnan SH menyebutkan, putusan P4P itu sampai ke Disnakertrans kemarin dan saat itu juga langsung disampaikan ke PT Mafahtex dan para karyawan dengan didampingi Serikat Pekerja Nasional (SPN).
Keputusan P4P itu menguatkan putusan P4D Jateng yang dikeluarkan 14 September 2004. Putusan P4P pada 19 April 2005 ini ditandatangani Ketua Drs S Sianturi dan Panitera Inneke M Siregar SH.
Perincian pesangon Rp 34,02 juta itu untuk tujuh mantan karyawan, yakni Ratih Murtiningsih Rp 6,8 juta, Rizkiyah Rp 3,27 juta, Finiyati Rp 4,605 juta, Winarti Rp 4,605 juta, Maysaroh Rp 5,05 juta, Casmin Rp 4,605 juta, dan Temu Rp 5,05 juta.
Dengan putusan itu, Mafahtex wajib membayar sesuai dengan putusan. Sebab jika itu tidak dilakukan, para pekerja dikenai PHK bisa mengajukan eksekusi ke Pengadilan Negeri (PN). Dan, tentu PN sudah tidak akan mengadakan sidang lagi kecuali hanya agar berembuk tentang pembayarannya.
Mengenai kasus PHK tersebut, ujar dia, terjadi 10 Mei 2004 dengan alasan perusahaan mengurangi pekerja karena mengalami kerugian atau tidak ada modal usaha. Awalnya dilakukan PHK pada 37 karyawan. Dari sejumlah itu, 30 pekerja sudah menerima pesangon melalui musyawarah bipartit antara perusahaan dan pekerja sedangkan delapan lainnya tidak mau menerima. Alasan penolakan, pesangon yang diberikan dinilai terlalu kecil dan tidak sesuai dengan UU Nomor 13/2003.
Merugi
Putusan itu menyebutkan, pengusaha telah mengajukan permohonan izin PHK dengan alasan perusahaan merugi dan tidak ada modal usaha. Itu juga sesuai dengan audit dari tim auditor akuntan publik Drs Tahrir Hidayat yang menunjukkan keadaan perusahaan tidak sehat/merugi.
Atas hal tersebut, sesuai dengan Pasal 154 ayat 1 UU Nomor 13/2003, perusahaan dapat melakukan PHK dengan ketentuan pekerja berhak atas uang pesangon satu kali ketentuan pasal 156, uang penghargaan masa kerja sekali, uang penggantian hak sekali, dan hak-hak pekerja yang belum diberikan.
Ketua SPN Kota Pekalongan M Bowo Leksono yang ditemui mengatakan, putusan P4P itu akan mengikat PT Mafahtex untuk memberikan pesangon kepada tujuh anggotanya yang dikenai PHK sepihak. "Jika tidak mau membayar, jelas SPN akan mendampingi karyawan untuk mendaftar ke PN agar mengeksekusi PT Mafahtex membayar pesangon itu," ungkapnya didampingi tujuh karyawan yang dikenai PHK.
Sementara itu, Direktur PT Mahfatex H Malul Akbar tidak berada di kantornya. Wakilnya, Herman, mengatakan, keputusan itu belum diketahui pimpinannya.
"Kami sebagai wakil perusahaan masih akan menyampaikan putusan itu kepada Pak Malul terlebih dulu. Sebab, sampai sekarang beliau belum ada kebijakan dari perusahaan, apakah akan membayar atau tidak," paparnya.
Kasus Pesangon PT Firta Sari Jaya
PALU- Setelah dilakukan negosiasi terhadap perusahaan yang mengadakan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap Maryono, karyawan PT Firta Sari Jaya, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang eksploitasi bahan galian golongan C, akhirnya menerima tuntutan pesangon sebesar Rp 1 juta.
Kesepakatan itu, dilakukan kedua belah pihak pada tanggal 9Agustus 2001 lalu DPRD Kota Palu yang memanggil Kasubdin Hubinsyaker Dinas Kependudukan Catatan Sipil dan Tenaga Kerja Dra Hj Maswati tinggal menerima data dan surat kesepakatan tersebut.
Ketua Komisi A bidang Pemerintahan dan Keamanan DPRD Kota Palu Usman Maranua SH mengaku dalam heanng (dengar pendapat) Senin (13/8) yang dihadiri Kadis Kependudukan catatan Sipil dan Tenaga Kerja Arifrn Hi Lolo SH, KTU Nirman J Kasubdin, Hubinsyaker Dra Hj Maswati dan Kasi Perselisihan Nurhayati M Purba tinggal menerima berkas kesepakatan kuasa hukum korban PHK Muh Rasyidi Bakry SH dan pimpinan PT Firta Sari Jaya B Sitourus.
Dalam kesepakatan tersebut Maryono melalui kuasa hukumnya mencabut seluruh tuntutannya dan menerima uang pesangon yang diberikan perusahaan itu sebesar Rp 1 juta atau lebih kecil dibandingkan haknya yang harus diterimanya sebesar Rp 2 juta lebih. Menurut Usman alasan perusahaan tidak memenuhi tuntutan itu disebabkan kondisi perusahaan yang sudah pailit dan tidak mempunyai kegiatan lagi. Akibatnya, kontribusi yang didapat perusahaan dari kegiatannya sudah nihil.
Makanya, kata Usman, untuk membayar dan memenuhi tuntutan korban itu, PT Firta Sari Jaya sudah tidak mampu lagi. Melihat kondisi itu Maryono terpaksa menerima uang pesangon yang tidak sesuai dengan tuntutannya. Meskipun begitu, kata Usman, selama pihaknya menangani permasalahan di Kota Palu baru kali ini penyelesaian kasus PHK secepat ini. “Kami hanya membutuhkan waktu selama 20 menit telah selesai. Boleh dikatakan, kami hanya menerima berkas atau dokumen kesepakan saja,” jelas Usman.
Kasus PT Panen Lestari Internusa
Jakarta - PT Panen Lestari Internusa dituding menggunakan data palsu mengenai 214 pekerja di Sogo Plaza Indonesia yang telah disalurkan ke perusahaan lain. Menurut Andika selaku wakil ketua Federasi Serikat Pekerja Mandiri (FSPM) Hotel, Restoran, Plaza, Apartemen, Katering, Retail, dan Pariwisata, hanya sekitar 50 pekerja yang dipindahkan. "Kami sudah 2 kali meminta data tersebut dari pengusaha, tapi tidak diberikan," kata Andika usai persidangan di Pengadilan Hubungan Industrial, Jl MT Haryono, Jakarta, Kamis (21/6/2007). Sidang kasus PHK pekerja di Sogo Plaza Indonesia ini berlangsung dengan agenda mendegarkan keterangan saksi Palris Jaya selaku ketua umum FSPM. Dituturkan Andika, ada 3 opsi yang diberikan pengusaha, yaitu PHK dengan pesangon, dipekerjakan kembali di Mitra Adi Perkasa (MAP), dan sekuriti yang di-PHK dijamin mendapat pekerjaan di tempat lain. "Tawaran itu hanya formalitas. Inti dari tawaran ya PHK. Bukan tawaran bekerja namanya kalau bekerja di luar Sogo. Kalau dimutasi ke MAP haknya berubah. Tiga opsi itu tipu muslihat," ujarnya. Ditegaskan dia, pekerja bukan mempermasalahkan pesangon. Masalah pertama, dasar PHK itu tidak jelas. Kedua, perhitungan gugatan kompensasi menyalahi fakta yang ada. "Dari 53 karyawan, kini tinggal 45 yang masih memperjuangkan haknya. Delapan orang lainnya sudah mundur dan menerima pesangon," urainya. BantahSementara Andi Anawawi selaku pengacara PT Panen Lestari Internusa usai sidang membantah penggunaan data palsu. Dijelaskan dia, dari 316 pekerja yang di-PHK, ada 214 pekerja yang disalurkan ke perusahaan lain. Sedangkan 79 pekerja lainnya mengundurkan diri. Alasannya tempat domisili yang jauh dari tempat tugas. Sementara 53 orang menolak 3 opsi yang diberikan. "Karyawan hanya ingin memilih pekerjaan yang sesuai dengan keinginan mereka. Dia ingin di-PHK tapi memilih pekerjaan yang dia suka," ujar Andi
Kasus PT The Master Steel dan PT Pangeran Karang Murni (PKM)
Jakarta - Gerimis siang hari di Jakarta menjadi saksi PHK mendadak 2.100 buruh PT The Master Steel dan PT Pangeran Karang Murni (PKM) yang berlokasi di Jl Pegangsaan II Pulogadung, Jakarta Utara. Ribuan buruh produsen baja beton ini diberhentikan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Surat pemberitahuan PHK bernomor 039/DIR/MS-PKM/VI/2007 ditandatangani langsung oleh Direktur Utama Istanto Burhan diterima buruh pagi hari ini. Ribuan buruh pun tertahan di luar pagar pabrik. Mereka tak berbuat banyak mendapat PHK sepihak itu. Buruh hanya duduk-duduk ditemani rintik hujan. "Kami tidak terima. Ini benar benar mendadak. Katanya pabrik pailit, itu nggak mungkin. Selama ini proses produksi berjalan normal. Anak perusahaan juga beroperasi normal," kata Cahyo, Ketua Serikat Pekerja PT PKM, Selasa (5/6/2007). Atas PHK mendadak ini, ratusan polisi terlihat berjaga-jaga mengamankan lokasi kedua perusahaan yang dalam satu area itu. Terbilang 400 polisi dari kesatuan Brimob menenteng senjata laras panjang. Dari Polda Metro Jaya sebanyak 250 personel diterjunkan, Reskrim 50 polisi, dan selebihnya dari Provoost, Gegana dan Kodim 0502 Jakarta Utara. Tampak pula kawat berduri disiapkan di pintu masuk pabrik. Pengamanan ini dinilai berlebihan oleh para buruh. "Ini sudah termasuk tekanan psikis dan intimidasi kepada buruh. Padahal kami tak melakukan apa-apa. Mogok kerja pun tidak," ujar Cahyo
Kasus PHK Karyawan LippoStar
Lippo sebagai pihak pengusaha LippoStar menyatakan tetap akan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada 35 karyawannya, dengan alasan perusahaan terus merugi. Namun Serikat Karyawan LippoStar (SKL) menilai alasan itu tidak mencukupi, sehingga bisa dikatakan pihak pengusaha gagal menjelaskan alasan penutupan LippoStar.
Pertemuan antara SKL dan kuasa hukumnya dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia dengan pihak Lippo di Dinas Tenaga Kerja dan Kependudukan Kota Tangerang, dua hari kemarin ternyata tidak membuahkan kesepakatan. Bahkan kedua pihak akan membawa permasalahan tersebut ke jenjang penyelesaian yang lebih tinggi di Depnaker, yakni P4P.
Demikian, Ketua Serikat Karyawan Lippostar, Sudirman, mengutarakan kepada SH, Jumat (8/11) di Jakarta. “Belum ada kesepakatan. Kita memang menyerahkannya ke P4P dan jika memang tidak ada juga kesepakatakan, ya mau tak mau ke ‘meja hijau’,” papar Sudirman.
Toto Trihamtoro SH, wakil kuasa hukum PT Linknet, anak perusahaan Lippo, mengatakan, perusahaan terus merugi, sehingga dilakukan penutupan. Kesepakatan dengan karyawan juga sulit dicapai sehingga meminta pihak ketika yaitu Dinas Tenaga Kerja.
Namun alasan merugi ini tidak bisa diterima SKL mengingat, menurut disain awalnya, LippoStar yang didirikan pada pertengahan 2000 diproyeksikan sebagai investasi jangka panjang bagi Lippo, yang diperkuat oleh dokumen resmi dari Boston Consulting Group yang menjadi konsultan Lippo yang menyatakan bahwa perusahaan tersebut didirikan untuk menunjang bisnis e-commerce, sehingga disebutkan LippoStar diperkirakan akan mengalami cashflow negatif hingga tahun ketujuh, dan mengalami titik impas (BEP) murni pada tahun ke-10.
“Dalam bisnis awalnya, LippoStar memang tidak pernah diharapkan untuk untung dalam waktu dekat. Pada mulanya sebuah bisnis integrasi, ada yang satu untuk umpan sehingga memang belum untung, yang lainnya untuk segera untung,” ujar Budiarto Danudjaja dari SKL.
Budiarto menambahkan, Lippo sudah siap untuk merugi selama 7 (tujuh) tahun. Kesiapan ini diucapkan langsung oleh petinggi Lippo, Billy Sindoro, di hadapan semua karyawan pada 20 Juli 2000 bahwa Lippo siap menopang bisnis LippoStar selama tujuh tahun walaupun merugi.
Wakil Pengusaha
Sebelumnya, pada awal pertemuan SKL mempertanyakan posisi Toto Trihamtoro sebagai kuasa hukum pengusaha karena dalam surat kuasa disebutkan jabatan Toto adalah HRD Manager dari PT AsiaNet, sedangkan dalam dokumen lain, Toto disebutkan sebagai pengacara dari sebuah konsultan hukum. Selain itu, SKL mempertanyakan adanya tagihan sebanyak Rp 20 juta rupiah ke PT LinkNet, Rp 10 juta untuk consultan fee Toto Trihamtoro & Partner, dan Rp 10 juta berikutnya untuk advance payment untuk pengurusan PHK melalui Depnaker. Menurut pengakuan Sri Suprapti, pejabat Disnaker Kota Tengerang, pihaknya tidak menerima sepeserpun uang dari Lippo.
Kasus PT. Securicor
Berawal pada tanggal 19 juli 2004 lahirlah sebuah merger antara Group 4 Flack dengan Securicor International di tingkat internasional. Terkait dengan adanya merger di tingkat international, maka para karyawan PT. Securicor yang diwakili oleh Serikat Pekerja Securicor Indonesia mengadakan pertemuan dengan pihak manajemen guna untuk membicarakan status mereka terkait dengan merger di tingkat Internasional tersebut. Akan tetapi pertemuan tersebut tidak menghasilkan solusi apapun, dan justru karyawan PT. Securicor yang semakin bingung dengan status mereka. Bahwa kemudian, Presiden Direktur PT Securicore Indonesia, Bill Thomas mengeluarkan pengumuman bahwa PHK mulai terjadi, sehingga divisi PGA dan ES telah menjadi imbasnya, yang lebih ironisnya adalah ketua Serikat Pekerja Securicor cabang Surabaya di PHK karena alasan perampingan yang dikarenakan adanya merger di tingkat internasional.Yang memutuskan rapat itu adalah Branch manager Surabaya.
Pada tanggal 8 Maret 2005. PHK ini mengakibatkan 11 karyawan kehilangan pekerjaan. Proses yang dilakukan ini juga tidak prosedural karena tidak ada anjuran dari P4P seperti di atur dalam UU tahun 1964 tentang PHK di atas 9 orang harus terlebih dahulu melaporkan ke instansi (P4P). Akan tetapi pihak PT. Securicor dan kuasa hukumnya, Elsa Syarief, SH, selalu mengatakan tidak ada merger dan tidak ada PHK, akan tetapi pada kenyataanya justru PHK terjadi. Mengacu pada hal tersebut dengan ketidak jelasan status mereka maka karyawan PT. Securicor memberikan surat 0118/SP Sec/IV/2005, hal pemberitahuan mogok kerja kepada perusahaan dan instansi yang terkait pada tanggal 25 April 2005 sebagai akibat dari gagalnya perundingan tentang merger (deadlock).
Persoalan ini terus bergulir dari mulai adanya perundingan antara manajemen PT. Securicor Indonesia dengan Serikat Pekerja Securicor Indonesia (SPSI) dimana pihak perusahaan diwakili oleh Leny Tohir selaku Direktur Keuangan dan SPSI di wakili oleh Fitrijansyah Toisutta akan tetapi kembali deadlock, sehingga permasalahan ini ditangani oleh pihak Disnakertrans DKI Jakarta dan kemudian dilanjutkan ke P4P, dan P4P mengeluarkan putusan dimana pihak pekerja dalam putusannya dimenangkan.
Fakta dari P4p
1. Agar pengusaha PT.Securicor Indonesia, memanggil dan mempekerjakan kembali pekerja Sdr. Denny Nurhendi, dkk (284 orang) pada posisi dan jabatan semula di PT. Secdurocor Indonesia terhitung 7 (tujuh) hari setelah menerima najuran ini;
2. Agar pengusaha PT.Securicor Indonesia, membayarkan upah bulan mei 2005 kepada pekerja sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang;
3. Agar pekerja sdr. Denni Nurhendi, dkk (284) orang, melaporkan diri untuk bekerja kembali pada pengusaha PT.Securicor Indonesia terhitung sejak 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat anjuran ini;
Akan tetapi pihak perusahaan tidak menerima isi putusan tersebut. Kemudian perusahaan melakukan banding . dan melalui kuasa hukumnya Elsza Syarief, S.H., M.H. memberikan kejelasan bahwa perusahaan tidak mau menerima para karyawan untuk kembali bekerja dengan alasan Pihak Perusahaan sudah banyak yang dirugikan dan para pekerja sendiri menolak untuk bekerja kembali sehingga sudah dianggap mengundurkan diri. Ternyata ungkapan tersebut tidak benar dan itu hanya rekayasa perusahaan karena selama ini berdasarkan bukti-bukti yang ada bahwa para pekerja sama sekali tidak minta untuk di PHK dan tidak pernah mengutarakan kepada kuasa hukum perusahaan soal pengunduran diri atapun mengeluarkan surat secara tertulis untuk minta di PHK. Justru kuasa hukum dari perusahaan menganggap para karyawan telah melakukan pemerasan dan melakukan intimidasi. Dan itu kebohongan besar. sebab berdasarkan bukti pihak pekerja hanya meminta pihak pengusaha untuk membayar pesangon sebanyak 5 PMTK apabila terjadi PHK massal dan ternyata perusahaan tidak merespont. Adapun terkait dengan aksi demo yang dilakukan oleh para serikat pekerja adalah untuk meminta :
Dasar Tuntutan
1. Bahwa pekerja tetap tidak pernak minta di PHK. Akan tetapi apabila terjadi PHK massal maka para pekerja minta untuk dibayarkan dengan ketentuan normative 5 kali sesuai dengan pasal 156 ayat 2,3 dan 4 UU No. 13 tahun 2003
2. Bahwa Penggugat melakukan pemutusan hubungan kerja bertentangan dengan pasal 3 ayat (1) UU No. 12 tahun 1964 karenana penggugat mem-PHK pekerja tidak mengajukan ijin kepada P4 Pusat
3. Bahwa para pekerja meminta uang pembayaran terhitung dari bulan juli 2005 dan meminta dibayarkan hak-haknya yang selama ini belum terpenuhi.
Perjalanan kasus ini telah melewati proses-proses persidangan di P4 Pusat yang telah diputus pada tanggal 29 Juni 2005, dan putusan itu telah diakui dan dibenarkan oleh Majlis Hakim Pengadilan Jakarta yang telah diambil dan dijadikan sebagai Pertimbangan hukum. Kemudian dengan melalui pertimbangan Pengadilan Tinggi Jakarta pada hari Rabu, tanggal 11 Januari 2006 harumnya keadilan telah berpihak kepada buruh (238 karyawan) dan Majlis Hakim menolak isi gugatan penggugat untuk seluruhnya. Dan kondisi sekarang pihak perusahaan, melalui kuasa hukumnya tersebut telah mengajukan permohonan kasasi. dan surat tersebut telah diberitahukan ke PBHI sebagai pihak termohon kasasi II Intervensi, dengan putusan yang telah diputuskan bisa menjadi nilai-nilai keadilan, kebenaran dan kejujuran yang sejati.
Force Majeur Relatif Muncul dalam Kasus PHK Karyawan Sogo
PHK terhadap 51 orang pekerja Sogo Plaza Indonesia berlanjut ke Pengadilan Hubungan Industrial. PHK dilakukan karena alasan keadaan memaksa. Perdebatannya, apak saja yang masuk kategori keadaan memaksa.
Masalah itu pula yang mencuat dalam sidang lanjutan perselisihan 51 orang pekerja dengan PT Panen Lestari Internusa (PLI) di Pengadilan Hubungan Industrial, Kamis (10/5) pekan lalu. Kedua pihak sebenarnya sudah berusaha menyelesaikan urusan lewat Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta. Namun PLI tidak setuju anjuran Disnakertrans agar perusahaan membayar pasongan dua kali lipat.
PLI hanya bersedia membayar satu kali. Menurut perusahaan ini, PHK terpaksa dilakukan karena terjadinya keadaan memaksa atau force majeur. Keadaan memaksa itu sifatnya relatif alias force majeur relatif. Para pekerja menolak, sehingga PLI mengajukan gugatan.
Tak mau kalah, para pekerja juga mendaftarkan gugatan. Mereka tak bersedia dibayar dua kali gaji, melainkan menuntut untuk dipekerjakan kembali. Namun dalam perjalanan, gugatan ini dicabut. Para pekerja memilih berkonsentrasi meladeni gugatan PLI. Mereka meminta kepada majelis hakim untuk membayar upah pekerja yang terhenti sejak Maret lalu.
Keadaan memaksa relatif yang mendasari PHK dimaksud adalah pemutusan perjanjian sewa dari PT Plaza Indonesia Realty Tbk pada 28 Februari 2007. Plaza Indonesia ingin mengubah konsep gerai dari food hall menjadi good hall gourmet. Kuas hukum PLI Andi Abdurrahman Nawawi mengatakan bahwa force majeur yang menimpa PLI adalah keadaan memaksa related. Ia mengakui bahwa Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya mengenal force majeur absolute seperti bencana alam. Namun, keadaan memaksa yang menimpa kliennya tak bisa dihindari. “Tangan PLI terikat,” ujarnya memberi perumpamaan. Ia menganalogikan yang dialami kliennya dengan keadaan memaksa akibat perubahan undang-undang.
Sayang, ketika ditanya Hukumonline lebih jauh tentang keadaan memaksa relatif tersebut, Nawawi menolak menjelaskan. “Ini bagian dari strategi kami. Akan kami saat pembuktian nanti,” tandasnya.
Pekerja menolak
Argumen PLI tetap ditolak ke-51 pekerja. Mereka menolak PHK karena dasar keadaan memaksa relatif yang disebut Nawawi tidak valid. Para pekerja mengutip Pasal 61 huruf d UU Ketenagakerjaan, bahwa keadaan memaksa ialah kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial atau gangguan keamanan.
Andika, salah wakil pekerja mempertanyakan alasan diputuskannya perjanjian sewa sebagai force majeure PLI, “Yang ada cuma perubahan konsep”. Menurut dia, pemiliknya perusahaan tetap sama, yang berubah hanya konsep. Selain itu, sejak awal force majeure tidak pernah dijadikan argumen oleh pengusaha. Hal ini penelusuran hukumonline dimana dalam berkas jawaban tidak disebutkan secara detail mengenai adanya keadaan memaksa. Demikian pula saat perundingan bipartid dan proses mediasi. Tetapi ketika persidangan PHI, unsur keadaan memaksa menjadi muncul.
Ditegaskan Andika, para pekerja secara tegas menolak setiap bentuk PHK. Agar tidak diPHK, Andika mengusulkan agar dia dan rekan-rekannya ditempatkan di gerai Sogo yang ada di luar Plaza Indonesia seperti Sogo Kelapa Gading, Sogo Mal Pondok Indah II, Sogo Plaza Senayan, Sogo Food Hall Senayan City, dan Sogo Food Hall Grand Indonesia.
Buruh menuntut, majikan yang menentukan. Keinginan pekerja akan kemungkinan dipekerjakan ditempat lain tersebut ditampik oleh PLI. Menurut PLI dalam gugatannya, ada 214 orang pekerja di Sogo yang sudah agak dipaksakan penempatannya di cabang lain. Pengacara PLI, Nawawi, menjelaskan bahwa pekerja tidak dapat memaksakan keinginannya kepada manajemen.
“Pekerja maunya apa? Kami bingung. Kami tidak bisa kalau mempekerjakan mereka sesuai dengan posisi sebelumnya dan sesuai dengan keinginan mereka, karena akan mengorbankan orang lain. Kenapa mereka tidak mau di PHK dan kemudian ditaruh ditempat lain?” ujar Nawawi.
Selain itu Nawawi juga berpandangan akan banyak kecemburuan dari pekerja lain bila para pekerja ditempatkan di jabatan baru yang lebih rendah dengan upah dan tunjangan yang tetap. Saat ditanyakan dugaan pekerja bahwa PLI mulai mempekerjakan orang lain melalui outsourcing, Nawawi menukas, “Itu kasus lain lagi”.
Mutasi Adalah Hak Mutlak Perusahaan, PHK Wartawan 'Kompas' Sah
Karyawan sudah pernah menandatangani pernyataan bersedia ditempatkan dimana saja. Menolak mutasi berarti sama saja melanggar syarat perjanjian kerja.
Raut kekecewaan tampak diwajah Bambang Wisudo, wartawan Kompas divisi Humaniora itu di-PHK sejak Kamis (30/08). Majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta mengabulkan gugatan PHK yang dimohonkan Kompas dengan dalil Bambang menolak mutasi.
Bambang mengajukan protes terhadap mutasi karena mutasi dinilainya terkait erat dengan aktivitasnya sebagai Sekretaris Perkumpulan Karyawan Kompas (PKK). Mutasi dilakukan oleh Kompas saat dirinya sedang dalam proses negosiasi dengan manajemen agar para karyawan mendapatkan hak 20% saham Kompas. Selain berkeberatan karena menganggap ini adalah perselisihan hak yang harus diputus sebelum perselisihan tentang PHK, dipersidangan Bambang juga berusaha membuktikan bahwa mutasi dilakukan karena memperjuangkan hak karyawan atas saham. Dalam jawaban dan gugtan rekompensinya terhadap Kompas ia meminta tetap dipekerjakan.
Syahdan, pada 15 November 2006 Kompas telah melakukan mutasi terhadap lima puluh satu pekerja, termasuk Bambang Wisudo yang dikirm ke Ambon. Lima puluh pekerja menerima mutasi kecuali dirinya yang mengajukan protes.
Bambang yang protes atas mutasi kemudian sempat melakukan protes dan menyebarkan selebaran. Lantaran Kompas menganggap pekerja menolak mutasi, Bambang kemudian diskors dan menerima surat PHK. Setelah itu Kompas mengajukan gugatan PHK ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta. Majelis hakim yang diketuai Heru Pramono mengabulkan gugatan PHK tersebut karena Bambang dianggap melanggar perjanjian kerja.
Dalam pertimbangannya, hakim berpendapat inti persoalan adalah Kompas melakukan kebijakan mutasi. Pertanyaan kuncinya apakah Bambang menolak atau melakukan tawar menawar. Hakim menyatakan mutasi tidak diatur dalam perjanjian kerja. Peraturan perusahaan saat itu juga telah kadaluarsa. Di media itu juga tidak ada perjanjian kerja bersama, meski ada serikat pekerja.
Berdasarkan pada surat pernyataan calon koresponden daerah yang pernah ditandatangani Bambang pada 29 Agustus 1990, majelis kemudian menganggap mutasi merupakan hak mutlak dari Kompas. Surat pernyataan itu dianggap Hakim sebagai bagian dari syarat perjanjian kerja kepada Bambang. Dalam surat pernyataan itu Bambang menyatakan bersedia ditempatkan dimana saja.
“Dalam hal ini penggugat telah menggunakan hak tanpa syarat untuk melakukan mutasi. Penolakan mutasi dianggap sebagai penolakan untuk terus bekerja” ujar salah seorang anggota majelis. Karena Bambang dinilai melakukan pelanggaran atas perjanjian kerja, ia pun mendapatkan satu kali pesangon, penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak dengan total Rp167.408.150,-. Upah bulanan selama proses terus dibayar Kompas.
Motif mutasi Kompas yang dicurigai Bambang karena aktivitasnya di PKK, tidak dipertimbangkan oleh majelis. Aktivitasnya di serikat pekerja sempat disinggung oleh hakim dan dianggap sebagai hak dari Bambang yang dilindungi oleh Undang-Undang Serikat Pekerja. Hakim juga terdengar agak menyalahkan Bambang soal ketiadaan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) di Kompas yang seharusnya dapat dirundingkan.
Surat Pernyataan
Kuasa hukum Bambang, Sholeh Ali keberatan atas putusan hakim. Menurut dia surat penyataan tahun 1990 itu tidak mengikat seperti PKB PP atau perjanjian kerja. Menurutnya hal ketenagakerjaan hanya diatur dalam PKB, PP, atau perjanjian kerja, hakim juga menyatakan mutasi tidak ada aturannya di Kompas. “Kalau ia dianggap melanggar, harusnya diatur dalam ketiganya, selain itu tidak ada” ujarnya.
Kuasa hukum Kompas, Denny Wijaya, mengaku tidak terkejut atas putusan, karena mutasi dan PHK sesuai dengan prosedur. Soal surat pernyataan Bambang, Denny sependapat dengan hakim yang menyatakan surat pernyataan sebagai syarat perjanjian kerja “Hakim menyatakan ketika melanggar surat pernyatan dia melanggar Perjanjian Kerja” ujarnya.
Bambang, menyayangkan alasan pokok mutasi tidak dipertimbangkan. “Padahal alasan pokok mutasi tidak disinggung. Mutasi dilakukan karena dendam pribadi beberapa orang manajemen Kompas dalam soal kesepakatan dengan karyawan” ujarnya. Meski kurang percaya dengan proses hukum, Bambang menyatakan akan kasasi terhadap putusan ini.
Dengan tidak dipertimbangkannya aktivitas Bambang di SP sebagai penyebab mutasi, Denny berkesimpulan hal tersebut tidak terbukti. Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menganggap putusan PHI dalam perkara Bambang Wisudo ini tidak memberikan perlindungan bagi Serikat Pekerja.
PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Pasal 150
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pasal 151
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetu-juan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 152
(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial apabila telah dirundangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.
Pasal 153
(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan :
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan, atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pasal 154
Penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal :
a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b. pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
d. pekerja/buruh meninggal dunia.
Pasal 155
(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.
Pasal 156
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut :
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai be-rikut :
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(5) Perubahan perhitungan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 157
(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas :
a. upah pokok;
b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh pekerja/buruh.
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 kali penghasilan sehari.
(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum provinsi atau kabupaten/kota.
(4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.
Pasal 158
(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :
a. melakukan penipuan, pencurian, atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut :
a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 159
Apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 160
(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai berikut :
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua puluh lima perseratus) dari upah;
b. untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat puluh lima perseratus) dari upah;
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih : 50% (lima puluh perseratus) dari upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan takwin ter-hitung sejak hari pertama pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh kembali.
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/ buruh dinyatakan bersalah, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
(6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5) dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja sebagai-mana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 161
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 162
(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak me-wakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat :
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa pene-tapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 163
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi peru-bahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 164
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 165
Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena perusahaan pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 166
Dalam hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua) kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 167
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun se-bagaimana dimaksud dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.
(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun yang iurannya/premi-nya dibayar oleh pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(6) Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ti-dak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 168
(1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara ter tulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri.
(2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.
(3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 169
(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut :
a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3).
Pasal 170
Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi keten-tuan Pasal 151 ayat (3) dan Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal 169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.
Pasal 171
Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan kerjanya.
Pasal 172
Pekerja/buruh yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Direferensi dari beberapa site di internet untuk kepentingan akademis
Komentar
Posting Komentar