Materi FISIP Semester I Tgl. 12 Nopember 2009 Etika di Dunia Akademik

Materi FISIP Semester I Tgl. 12 Nopember 2009
Etika di Dunia Akademik


Dunia akademik ialah relung civitas academica. Di lingkungan ini, di Indonesia tugas pokok warganya adalah Tridharma: penerusan dan penyebarluasan iptek, pengembangan iptek, dan penerapan iptek dalam pengabdian kepada masyarakat. Dalam ketiga dharma ini, dan terutama dalam kedua dharma yang pertama, termasuk pula penerbitan karya ilmiah.
Etika yang merambah semua kegiatan inilah yang dimaksudkan dengan etika akademik, ini meliputi sikap ilmiah, tanggungjawab ilmiah dan professional, dan perilaku kolegial-profesional sebagai warga masyarakat akademik. Semuanya bertumpu pada kejujuran ilmiah (scientific honesty), perlakuan yang adil (fairness), dan keterbukaan serta penghargaan terhadap pendapat orang lain.
Dalam publikasi, tidak etis untuk melanggar HAKI dan melakukan penjiplakan. Penghargaan terhadap pendapat orang lain diwujudkan dengan menyebutkan sumbernya bila kita mengutip, mengucapkan terima kasih secara eksplisit kepada orang-orang yang telah membantu melahirkan publikasi itu, dan tidak memelintir pendapat orang lain untuk menyesuaikannya dengan kepentingan kita. Mencatut nama besar orang lain untuk “mendongkrak” prestise karya tulis kita juga sangat tidak terpuji. Demikian pula memampangkan “seabrek” acuan di bagian akhir makalah kita, padahal semua atau sebagian besar dari acuan-acuan itu tidak penad (relevant) dengan isi makalah kita. Tanggapan (renponse) atas pendapat orang lain dan tangkisan (rebuttal) atas kritik yang kita terima boleh saja sangat tajam, tetapi tidak boleh mempermalukan orang lain. Bukan orangnya yang kita kecam dan tentang pandangannya
Ilmu dapat dipandang secara internalistik, artinya dicermati dari segi kebenaran intersubjektif (konsistensi internal dan korespondensinya dengan fakta dan empiria). Ini meliputi keseksamaan peranti (devices) dan rudas (apparati) yang dipakai dalam pengamatan dan pengukuran serta ketepatan penyusunannya dalam percobaan (experimental set-up), kejelian pengamatan dan kecermatan pengukurannya, kebenaran metode percobaan dan analisis datanya serta kelogisan penarikan kesimpulannya. Ilmu juga dapat dipandang secara eksternalistik, artinya dicermati dari segi hubungannya dengan dampaknya pada unsur-unsur kebudayaan lain di luar dirinya. Ini meliputi keselarasannya dengan nilai-nilai etika dan agama serta akuntabilitas atas resiko dari kesalahannya dan kurang tepatnya penerapannya.
Tanggung jawab akademik warga civitas academica dalam mengemban tridharma meliputi kedua aspek tersebut di atas. Tanggung jawab dosen dalam dharma pendidikan dan pengajaran, misalnya tidak terbatas dalam masa berlangsungnya PBM itu saja, tetapi sampai pada akibatnya pada alumni dalam karir mereka nanti. Kalaupun pertanggungjawaban legal-yuridis tidak dapat diminta dari dosen yang dalam pengajarannya melakukan kesalahan yang berakibat negatif pada alumni rasa bertanggung jawab atau tanggung jawab moral harus ada. Inilah yang membedakan pendidikan (bildung) dari indoktrinasi, apalagi kalau indoktrinasi itu begitu keras dan/canggihnya, sehingga menjadi cuci otak (brainwashing).
Sebaiknya lembaga pendidikan tinggi mempunyai kode etik yang berlaku bagi dan dimengerti serta diterima oleh semua civitas academica. Kode etik (ethical codes of conduct) itu merupakan panduan untuk menjaga integritas civitas academica dan citra lembaganya, sehingga mendapat kepercayaan dari relasi dan rekan kerja di lembaga-lembaga lain serta dari masyarakat luas. Tak ada gunanya suatu kode etik, bahkan yang ditulis dengan aksara indah dan tinta emas pun, kalau ia hanya dijadikan pajangan belaka dan tidak berfungsi. Kode etik juga tidak akan efektif kalau tidak ada sanksi bagi pelangarnya. Demi fairness dalam menangani dugaan pelanggarannya, sebaiknya ada mekanisme untuk membentuk secara ad hoc dan tepat --- sebuah Dewan Kehormatan. Kalau diantara warga civitas academica ada yang cukup senior dalam pengalaman, bagus reputasi akademiknya, dan tidak diragukan integritas moralnya, lagi pula sangat dihormati oleh semua warga lainnya, peran Dewan Kehormatan itu dapat diserahkan kepadanya, dengan secara resmi mengangkatnya sebagai ombudsman tetap.
Sikap orang terhadap suatu ajaran (religius, filosofis, politis atau ilmiah-teoritis) terentang di antara dua kutub yang diametral atau meridional. Kutub ekstrim yang satu ialah fundamentalisme, sedangkan ekstrem yang satunya lagi ialah liberalisme. Fundamentalisme ialah paham yang dengan ketat dab kukuh meyakini kebenaran harfiah dari doktrin-doktrin atau dalil-dalil dalam suatu ajaran. Sebaliknya liberalisme adalah paham yang condong ke arah pandangan atau kebijakan yang pro reformasi dan kemajuan, sehingga bertenggang rasa (tolerant) dan tidak berprasangka (prejudiced).
Karena iptek bertumpu pada kreativitas dan kreativitas hanya dapat berkembang dalam suasana kebebasan dan keterbukaan, maka sikap etis civitas academica sebaiknya liberal, namun tidak sampai terperosok ke dalam liberalisme. Justru karena liberal, maka kita bebas dari liberalisme. “Menjadi liberal yang sejati”, menurut teologiwan Karl Barth, “berarti dan berbicara dalam tanggung jawab dan keterbukaan di semua sisi dan dengan apa yang dapat saya sebut keugaharian pribadi yang total”.
Bersikap ugahari (modest) berarti menyadari bahwa apa yang kita pikirkan dan katakan ada batas-batasnya. Kesadaran akan adanya batas ini tidak menghalangi kita untuk dengan tegas mengatakan apa yang kita pikirkan dan apa yang kita ketahui, namun tanpa beranggapan bahwa kita harus senantiasa benar. Dengan kata lain kita terbuka terhadap kritik orang lain, bersedia merevisi pandangan kita, dan bahkan merombaknya habis-habisan bila perlu, jika argument rasional dan/atau bukti-bukti empiris yang disodorkan para pengecam kita ternyata memang telah memfalsifikasi pandangan kita. Memiliki keugaharian ilmiah (scientific modesty) berarti tidak sok berpretensi seolah-olah kita adalah orang yang paling pintar dan merupakan sumber kebenaran. Ini selaras dengan “purata kencana” (the golden mean), asas yang disarankan dalam etika Kebajikan (virtue ethics). “Jalan Tengah” (the middleWay) dalam Budhisme juga menganjurkan hal yang sama.

Etika dalam Iptek
Telah dikatakan tadi bahwa dunia akademik ialah relungnya civitas academica yang mengemban tugas menyebarluaskan, mengembangkan dan mengabdikan iptek. Maka etika di dunia akademik juga etika dalam iptek. Kalau di bagian ini Etika dalam Iptek dibicarakan tersendiri, itu karena pembicaraan dalam Etika di dunia akademik baru dipumpunkan pada dharma yang pertama dari tridharma, yakni pendidikan dan pengajaran untuk mentransmisikan iptek. Jadi di bagian ini pumpun pembicaraan kita pada etika dalam penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
Secara umum, etika menuntut kejujuran dan dalam iptek ini berarti kejujuran ilmiah (scientific honesty). Mengubah, menambah, dan mengurangi data demi kepentingan tertentu termasuk dalam ketidakjujuran ilmiah. Mengubah dan menambah data dengan rekaan sendiri dapat dimaksudkan agar kurvanya memperlihatkan kecenderungan yang diinginkan. Mungkin penelitinya sendiri yang menginginkan agar hasil penelitiannya sesuai dengan teori yang sudah mapan. Mungkin penaja (sponsor) peneliti itu yang ingin menonjolkan citra produk industrinya. Mereka-reka data semacam itu merupakan the sin of commission. Sebaliknya membuang sebagian data yang “memperburuk” hasil penelitian adalah the sin commission. Penghapusan data yagn “jelek” itu mungkin dimaksudkan oleh penelitinya agar analisis datanya memperlihatkan keterandalan (realibility) yang lebih baik. Lebih jahat lagi kalau dosa komisi itu dilakukan untuk menyembunyikan efek samping yang negatif dari produk yang diteliti. Ketidakjujuran ilmiah semacam ini pernah dilakukan peneliti yang ditaja pabrik penyedap rasa (monosodium glutamate) di Thailand.
Kalau data yang dibuang itu dinilai sebagai penyimpangan dari kelompok yang sedang diteliti, dan karenanya harus ikut diolah, kejujuran ilmiah menuntut penjelasan tentang penghapusannya. Perlu juga disebutkan patokan yang dipakai untuk menentukan ambang nilai data yang harus ikut dianalisis, misalnya patokan Chauvenet.
Sekarang umat manusia menghadapi masalah-masalah yang sangat serius, yang menyangkut teknologi dan dampaknya pada lingkungan. Kenyataan ini memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang etika:
a. Norma-norma etika (dan agama) yang seperti apakah yang harus kita patuhi dalam penelitian di bidang bioteknologi, fisika nuklir dan zarah keunsuran, serta astronomi dan astrofisika?
b. Dalam penelitian kedokteran dan genetika, apakah arti kehidupan?
c. Dalam penelitian dampak teknologi terhadap lingkungan, bagaimana seharusnya hubungan manusia dengan alam, baik yang nirnyawa(the inanimate world) maupun yang bernyawa.
d. Apakah masyarakat yang baik itu, dan dapatkah dikembangkan pengertian yang universal tentang kebaikan bersama yang melampaui individualisme, nasionalisme, dan bahkan antroposentrisme?

Dalam bioteknologi (termasuk rekayasa genetika) dan kedokteran, pertanyaan tentang arti, mulai dan berakhirnya kehidupan sangat penad (relevant). Apakah orang yang berada dalam keadaan koma dan fungsi faal serta metabolismenya harus dipertahankan dengan alat-alat kedokteran elektronik dalam jangka panjang yang tidak tertentu masih mempunyai kehidupan yang berarti ? Tak bolehkah ia minta (misalnya sebelum terlelap dalam keadaan seperti itu), atau diberi, euthanasia berdasarkan informed consent dari keluarganya yang paling dekat? Ini mengacu ke arti dan berakhirnya kehidupan. Mulainya kehidupan, penting untuk diketahui atau ditetapkan (dengan pertimbangan ilmu dan agama) untuk menentukan etis dan tidaknya menstrual regulation (“MR”) dan aborsi, terutama dalam hal indikasi medis dari risiko bagi ovum yang telah dibuahi dan terlebih-lebih lagi bagi ibunya, kurang meyakinkan.
Bioteknologi/rekayasa genetika mungkin hanya boleh dianggap etis jika tingkat kegagalannya yang mematikan embrio relative rendah dan – bila menyangkut manusia – hanya mengarah ke eugenika negatif. Tanaman dan organisme harus disikapi dengan hati-hati, baik dari segi perkembangan jangka panjangnya yang secara antropo sentries mungkin membahayakan kehidupan kita, maupun dari segi pengaturannya dalam tata hukum dan ekonomi internasional yang biasanya lebih menguntungkan negara-negara maju. Etiskah untuk mematenkan organisme dan tanaman yang telah diubah secara genetic (genetically modified)? Adilkah itu dan apakah itu tidak mengancam kelestarian plasma nutfah? Keadilan yang dimaksudkan di sini adalah keadilan agihan (distributive justice). Pengagihannya bukan hanya secara spatial, tetapi juga secara temporal. Dimensi spatiotemporal dari keadilan distributive ini tersirat dalam pengertian tentang “pembangunan yang terlanjutkan” (sustainable development) menurut Gro Harlem Brundtland.

Sumber :
INTEGRITAS DAN ETIKA ILMUAN TERHADAP IPTEK
DALAM DUNIA AKADEMIK
Lalu Burhan

Komentar

Postingan populer dari blog ini