Materi Kuliah Tgl. 25-26 Nopember 2009

Halaman ini memuat :
Materi Kuliah Rabu, 25 Nopember 2009
A. Semester V Fak. Hukum – ADR – Negosiasi
B. Semester I Fak. Hukum – PHI – Bahasan Hukum Administrasi Negara (Lanjutan)
Materi Kuliah Kamis, 26 Nopember 2009
C. Semester I FISIP – Filsafat Hukum dan Etika Akademik
(Mahasiswa memilah sendiri sesuai materi kuliah yang diperlukan)
Sekilas Info = UJIAN TENGAH SEMESTER : 7 – 11 NOPEMBER 2009=

A. Semester V Fak. Hukum – ADR – Negosiasi

Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh negosiator/Kooperator
1. Bertindak secara kooperatif tetapi bersifat bertahan
2. Memberi konsensi hanya untuk alasan yang baik
3. Memberi konsensi sebagian
4. Menuntut timbal balik
5. Tidak Boleh Percaya tanpa berpikir cenderung menilai terlebih dahulu
6. Jangan Memberi konsensi kalau dihadapkan dengan syarat ketat
7. Jangan Tidak menuntut konsensi sebagai imbalan
8. Jangan Memberi informasi dengan suka rela
9. Jangan cepat mengambil langkah untuk kompromi

Selain hal-hal di atas terdapat pertanyaan seputar kegiatan negosiasi antara lain:
1. Alasan masuk negosiasi
2. Kekeuatan dan kelemahan
3. Keuntungan dan kerugian
4. Masalah dan kelemahannya
5. Apa kepentingan pihak lain
6. Apa kepentingan pihak anda
7. Masalah apa yang harus dinegosiasi
8. Apa yang harus di dapat
9. Apa asumsi anda
10. Benda/jasa apa yang akan ditawarkan
11. Pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dalam negosiasi
12. Fakta apa yang penting dalam negosiasi
13. Masalah apa yang dapat dipending
14. Fakta apa yang didebatkan
15. Metode mendapatkan fakta
16. Bagaimana menetapkan nilai

B. Semester I Fak. Hukum – PHI – Bahasan Hukum Administrasi Negara (Lanjutan)

Prinsip-Prinsip good governance
Pertama, demokrasi dan pemberdayaan. Hidupnya demokrasi dalam suatu negara bangsa, dicerminkan oleh adanya pengakuan dan penghormatan negara dan penyelenggara dan aparatur negara atas hak dan kewajiban warga negara, termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan dan mengekspresikan diri secara rasional sebagai wujud rasa tanggung jawabnya dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa. Demokrasi tidak hanya mempunyai makna dan berisikan kebebasan, tetapi juga tanggung jawab; demokrasi sesungguhnya keariefan dalam memikul tanggung jawab dalam mewujudkan tujuan bersama, yang dilakukan secara berkeadaban. Dalam rangka itu, birokrasi dalam mengemban tugas pemerintahan dan pembangunan, tidak harus berupaya melakukan sendiri, tetapi mengarahkan ("steering rather than rowing"), atau memilih kombinasi yang optimal antara steering dan rowing apabila langkah tersebut merupakan cara terbaik untuk mencapai kesejahteraan sosial yang maksimal. Yang jelas sesuatu yang sudah bisa dilakukan oleh masyarakat, tidak perlu dilakukan lagi oleh pemerintah. Apabila masyarakat atau sebagian dari mereka belum mampu atau tidak berdaya, maka harus dimampukan atau diberdayakan (empowered). Pemberdayaan berarti pula memberi peran kepada masyarakat lapisan bawah di dalam keikutsertaannya dalam berbagai kegiatan pembangunan.

Dalam rangka memberdayakan masyarakat dalam memikul tanggung jawab pembangunan, peran pemerintah dapat direinveting antara lain melalui (a) pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi masyarakat, (b) perluasan akses pelayanan untuk menunjang berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat, dan (c) pengembangan program untuk lebih mening-katkan keamampuan dan memberikan kesempatan kepada masyarakat berperan aktif dalam memanfaatkan dan mendayaguna¬kan sumber daya produktif yang tersedia sehingga memiliki nilai tambah tinggi guna mening¬katkan kesejahteraan mereka.

Kedua, pelayanan. Upaya pemberdayaan memerlukan semangat untuk melayani masyarakat ("a spirit of public services"), dan menjadi mitra masyarakat ("partner of society"); atau melakukan kerja sama dengan masyarakat ("co production, atau partnership”). Hal tersebut memerlukan perubahan perilaku yang antara lain dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik ("code of ethical conducts") yang didasarkan pada dukungan lingkungan ("enabling strategy") yang diterjemahkan ke dalam standar tingkah laku yang dapat diterima umum, dan dijadikan acuan perilaku aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah-daerah.

Pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang". Makna administrasi publik sebagai wahana penyelenggaraan pemerintahan negara, yang esensinya "melayani publik", harus benar-benar dihayati para penyelenggara pemerintahan negara.

Ketiga, transparansi. Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya, di samping mematuhi kode etik, aparatur dan sistem manajemen publik harus mengembangkan keterbukaaan dan sistem akuntabilitas, serta bersikap terbuka untuk mendorong para pimpinan dan seluruh sumber daya manusia di dalamnya berperan dalam mengamalkan dan melembagakan kode etik dimaksud, serta dapat menjadikan diri mereka sebagai panutan masyarakat sebagai bagian dari pelaksanaan pertanggungjawaban kepada masyarakat dan negara.

Upaya pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha, peningkatan partisipasi dan kemitraan, selain (1) memerlukan keterbukaan birokrasi pemerintah, juga (2) memerlukan langkah-langkah yang tegas dalam mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat kreativitas dan otoaktivitas mereka, serta (3) memberi kesempatan kepada masyarakat untuk dapat berperanserta dalam proses penyusunan peraturan kebijaksanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. Pemberdayaan dan keterbukaan akan lebih mendorong akuntabilitas dalam pemanfaatan sumber daya, dan adanya keputusan-keputusan pembangunan yang benar-benar diarahkan sesuai prioritas dan kebutuhan masyarakat, serta dilakukan secara riil dan adil sesuai aspirasi dan kepentingan masyarakat.

Keempat, partisipasi. Masyarakat diikutsertakan dalam proses menghasilkan public good and services dengan mengembangkan pola kemitraan dan kebersamaan, dan bukan semata-mata dilayani. Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat ("empowering rather than serving"), kepercayaan masyarakat harus meningkat, dan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi ditingkatkan.

Konsep pemberdayaan ("empowerment") juga selalu dikaitkan dengan pendekat¬an partisipasi dan kemitraan dalam manajemen pembangunan, dan memberikan penekanan pada desentralisasi dalam proses pengambilan keputusan agar diperoleh hasil yang diharapkan dengan cara yang paling efektif dan efisien dalam pelaksanaan pembangunan. Dalam hubungan ini perlu dicatat penting¬nya peranan keswadayaan masyarakat, dan menekankan bahwa fokus pembangunan yang hakiki adalah peningkatan kapasitas perorangan dan kelembagaan ("capacity building"). Jangan diabaikan pula penyebaran informasi mengenai berbagai potensi dan peluang pembangunan nasional, regional, dan global yang terbuka bagi daerah; serta privatisasi dalam pengelolaan usaha-usaha negara.

Kelima, kemitraan. Dalam membangun masyarakat yang modern di mana dunia usaha menjadi ujung tombaknya, terwujudnya kemitraan, dan modernisasi dunia usaha terutama usaha kecil dan menengah yang terarah pada peningkatan mutu dan efisiensi serta produktivitas usaha amat penting, khususnya dalam pengembangan dan penguasaan teknologi dan manajemen produksi, pemasaran, dan informasi.

Dalam upaya mengembangkan kemitraan dunia usaha yang saling meng-untungkan antara usaha besar, menengah, dan kecil, peranan pemerintah ditujukan ke arah pertumbuhan yang serasi. Pemerintah berperan dalam menciptakan iklim usaha dan kondisi lingkungan bisnis, melalui berbagai kebijaksanaan dan perangkat perundang-undangan yang mendorong terjadinya kemitraan antarskala usaha besar, menengah, dan kecil dalam produksi dan pemasaran barang dan jasa, dan dalam berbagai kegiatan ekonomi dan pembangunan lainnya, serta pengintegrasian usaha kecil ke dalam sektor modern dalam ekonomi nasional, serta mendorong proses pertumbuhannya. Dalam proses tersebut adanya kepastian hukum sangat diperlukan.

Keenam, desentralisasi. Desentralisasi merupakan wujud nyata dari otonomi daerah, merupakan amanat konstitusi, dan tuntutan demokratisasi dan globalisasi. Dalam Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah, otonomi dilaksanakan dengan pelimpahan kewenangan yang luas kepada daerah Kabupaten/Kota, dan Daerah Provinsi berperan lebih banyak dalam pelaksanaan tugas dekonsentrasi, termasuk urusan lintas Kabupaten/Kodya yang memerlukan penyelesaian secara terkoordinasi. Penguatan kelembagaan sangat diperlukan dalam mewujudkan format otonomi daerah yang baru tersebut, termasuk kemampuan dalam proses pengambilan keputusan. Ini adalah langkah yang tepat, sebab perubahan-perubahan yang cepat di segala bidang pembangunan menuntut pengambilan keputusan yang tidak terpusat, tetapi tersebar sesuai dengan fungsi, dan tangung jawab yang ada di daerah.

Karena pembangunan pada hakekatnya dilaksanakan di daerah-daerah, berbagai kewenangan yang selama ini ditangani oleh pemerintah pusat, diserahkan kepada pemerintah daerah. Langkah-langkah serupa perlu diikuti pula oleh organisasi-organisasi dunia usaha, khususnya perusahaan-perusahaan besar yang berkantor pusat di Jakarta, sehingga pengambilan keputusan bisnis bisa pula secara cepat dilakukan di daerah. Dengan kata lain desentralisasi perlu juga dilakukan oleh organisasi-organisasi bisnis.

Perbedaan perkembangan antardaerah mempunyai implikasi yang berbeda pada macam dan intensitas peranan pemerintah, namun pada umumnya masyarakat dan dunia usaha memerlukan (a) desentralisasi dalam pemberian perizinan, dan efisiensi pelayan¬an birokrasi bagi kegiatan-kegiatan dunia usaha di bidang sosial ekonomi, (b) penyesuaian kebijakan pajak dan perkreditan yang lebih nyata bagi pembangunan di kawasan-kawasan tertinggal, dan sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah yang sesuai dengan kontribusi dan potensi pembangu-nan daerah, serta (c) ketersediaan dan kemudahan mendapatkan informasi mengenai potensi dan peluang bisnis di daerah dan di wilayah lainnya kepada daerah di dalam upaya peningkatan pembangunan daerah.

Ketujuh, konsistensi kebijakan, dan kepastian hukum. Tegaknya hukum yang berkeadilan merupakan jasa pemerintahan yang terasa teramat sulit diwujudkan, namun mutlak diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, justru di tengah kemajemukan, merajalelanya KKN termasuk money politics, berbagai ketidak pastian perkembangan lingkungan, dan menajamnya persaingan. Peningkatan dan efisiensi nasional membutuhkan penyesuaian kebijakan dan perangkat perundang-undangan, namun tidak berarti harus mengabaikan kepastian hukum. Adanya kepastian hukum merupakan indikator professionalisme dan syarat bagi kredibilitas pemerintahan, sebab bersifat vital dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, serta dalam pengembangan hubungan internasional. Tegaknya kepastian hukum juga mensyaratkan kecermatan dalam penyusunan berbagai kebijakan pembangunan. Sebab berbagai kebijakan publik tersebut pada akhirnya harus ditungkan dalam sistem perundang-undangan untuk memiliki kekuatan huum, dan harus mengan-dung kepastian hukum.

Wujud dari cita-cita reformasi birokrasi adalah berupa sistem pemerintahan negara berdasarkan hukum yang merupakan perwujudan atas nilai ketaatan atau kepatuhan sebagai warga negara dan warga masyarakat dunia. Hukum harus ditempatkan pada tingkat yang paling tinggi, yang pada akhirnya tidak boleh lagi menjadi subordinasi dari bidang-bidang pembangunan khususnya ekonomi dan politik. Pembangunan hukum harus ditujukan untuk mencapai tegaknya supremasi hukum, sehingga kepentingan ekonomi dan politik tidak dapat lagi memanipulasi hukum sebagaimana lazim terjadi. Pembangunan hukum sebagai sarana mewujudkan supremasi hukum, harus diartikan bahwa hukum temasuk penegakan hukum, harus diberikan tempat yang strategis sebagai instrumen utama yang akan mengarahkan, menjaga dan mengawasi jalannya pemerintahan. Hukum juga harus bersifat netral dalam menyelesaikan potensi konflik dalam hidup dan kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk.

Pembaharuan hukum yang terkotak-kotak (fragmentaris) dan tambal sulam di antara lembaga pemerintahan harus dicegah. Penegakan hukum harus dilakukan secara sistematis, terarah dan dilandasi oleh konsep yang jelas. Selain itu penegakan hukum harus benar-benar ditujukan untuk meningkatkan jaminan dan kepastian hukum dalam masyarakat, baik di tingkat pusat maupun daerah sehingga keadilan dan perlindungan hukum terhadap HAM benar-benar dapat dirasakan oleh masyarakat. Untuk menjamin adanya pemerintah yang bersih (clean government) serta kepemerintahan yang baik (good governance), maka pelaksanaan pembangunan hukum harus memenuhi asas-asas kewajiban prosedural (fairness), pertanggungjawaban publik (accountability) dan dapat dipenuhi kewajiban untuk peka terhadap aspirasi masyarakat (responsibility). Untuk itu, dukungan dari penyelenggara negara secara nyata (political will) merupakan faktor yang menentukan terlaksananya pembangunan hukum secara konsisten dan konsekuen. Di samping itu koordinasi yang baik antara institusi pemerintah yang mengelola hukum dan perundangan, dengan perguruan tinggi serta LSM dalam menyusun langkah-langkah pembenahan reformasi hukum sangat diperlukan, utamanya dalam menyusun rancangan dasar dan strategi (grand design) reformasi hukum yang berkesinambungan.

Dalam pada itu, pada era globalisasi, dalam ekonomi yang makin terbuka, meskipun untuk meningkatkan efisiensi perekonomian harus makin diarahkan kepada ekonomi pasar, namun intervensi pemerintah harus menjamin bahwa persaingan berjalan dengan berimbang, dan pemerataan terpelihara. Yang terutama harus dicegah terjadinya proses kesenjangan yang makin melebar, karena kesempatan yang muncul dari ekonomi yang terbuka hanya dapat dimanfaatkan oleh wilayah, sektor, atau golongan ekonomi yang lebih maju. Peranan pemerintah makin dituntut untuk lebih dicurahkan pada upaya pemerataan. Penyelenggara pemerintahan negara harus mempunyai komitmen yang kuat kepada kepentingan rakyat, kepada cita-cita keadilan sosial.

Kedelapan, akuntabilitas. Langkah lainnya yang perlu mendapatkan perhatian dalam reformasi birokrasi adalah peningkatan akuntabilitas kinerja birokrasi dalam setiap instansi pemerintahan. Isu akuntabilitas telah banyak dibicarakan dan menjadi semakin hangat dalam era reformasi. Akuntabilitas yang sebelumnya hanya terkait pada akuntabilitas keuangan dirasakan tidak dapat memberikan rasa puas di kalangan masyarakat. Akuntabilitas yang bukan hanya menyangkut aspek keuangan harus dapat diselenggarakan oleh seluruh instansi pemerintahan. Dalam hubungan itu, masyarakat harus dapat memperoleh informasi yang lengkap mengenai kegiatan instansi penyelenggara pelayanan publik melalui laporan akuntabilitas pemerintah.

Akuntabilitas secara filosofik timbul karena adanya kekuasaan yang berupa amanah yang diberikan kepada orang atau pihak tertentu untuk menjalankan tugasnya dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Dari pengertian di atas tersirat bahwa pihak yang diberikan amanah harus memberikan laporan atas tugas yang telah dipercayakan kepadanya, dengan mengungkapkan segala sesuatu yang dilakukan, dilihat, dira-sakan yang mencerminkan keberhasilan dan kegagalan. Dengan kata lain laporan akuntabilitas tersebut bukan sekedar laporan kepatuhan dan kewajaran pelaksanaan tugas sesuai dengan ketentuan yang berlaku, tetapi juga termasuk berbagai indikator kinerja yang dicapai, di samping kewajiban untuk menjawab pertanyaan mendasar tentang apa yang harus dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini si penerima amanah harus dapat dan berani mengungkapkan dalam laporannya semua kegagalan yang terjadi berkenaan dengan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pihak yang lebih tinggi.

Pada dimensi lain, secara internal, dapat pula diidentifikasi akuntabilitas spiritual seseorang. alam hubungan ini akuntabilitas merupakan pertang-gungjawaban orang seorang kepada Tuhannya. Akuntabilitas ini meliputi pertanggungjawaban sendiri mengenai segala sesuatu yang dijalankannya, hanya diketahui dan difahami yang bersangkutan. Semua tindakan akuntabilitas spiritual didasarkan pada hubungan orang bersngkutan dengan Tuhan. Namun apabila betul-betul dilaksanakan dengan penuh iman dan taqwa, kesadaran akan akuntabilitas spiritual ini akan memberikan pengaruh yang sangat besar pada pencapaian kinerja kelembagaan. Itulah sebabnya mengapa seseorang dapat melaksanakan pekerjaan dengan hasil yang berbeda dengan orang lain, atau mengapa suatu instansi menghasilkan kuantitas dan kualitas yang berbeda terhadap suatu pekerjaan yang sama-sama dikerjakan oleh instansi lainnya walaupan uraian tugas pokok dan fungsinya telah nyata-nyata dijelaskan secara rinci.

Akuntabilitas dapat pula dilihat dari sisi eksternal, yaitu akuntabilitas orang tersebut kepada lingkungannya baik lingkungan formal (atasan bawahan) maupun lingkungan masyarakat. Kegagalan seseorang memenuhi akuntabilitas ekternal mencakup pemborosan waktu, pemborosan sumber dana dan sumber-sumber daya pemerintah yang lain, kewenangan, dan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Akuntabilitas eksternal lebih mudah diukur mengingat norma dan standar yang tersedia memang sudah jelas. Kontrol dan penilaian dari faktor ekternal sudah ada dalam mekanisme yang terbentuk dalam suatu sistem dan prosedur kerja. Seorang atasan akan memantau pekerjaan bawahannya dan akan memberikan teguran apabila terjadi penyimpangan. Rekan kerja akan saling mengingatkan dalam pencapaian akuntabilitas masing-masing. Hal ini dapat terwujud dikarenakan ada saling ketergantungan di antara mereka. Masyarakat dan lembaga-lembaga pengontrol dan penyeimbang akan bersuara dengan lantang apabila pelayanan yang diterimanya dari birokrasi tidak seperti yang diharapkannya.

Dengan penerapan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah maka keberpihakan birokrasi pada kepentingan masyarakat akan menjadi lebih besar serta dapat mempertahankan posisi netralnya. Akuntabilitas kinerja instansi pemerintah ini akan menjadi semacam sistem pengendalian intern bagi birokrasi.


Materi Kuliah Kamis, 26 Nopember 2009
C. Semester I FISIP – Filsafat Hukum dan Etika Akademik


SIKAP ILMIAH (Lanjutan)
Oleh : Nurani Soyomukti

Istilah sikap dalam bahasa Inggris disebut “Attitude” sedangkan istilah attitude sendiri berasal dari bahasa latin yakni “Aptus” yang berarti keadaan siap secara mental yang bersifat untuk melakukan kegiatan. Triandis mendefenisikan sikap sebagai : “ An attitude ia an idea charged with emotion which predis poses a class of actions to aparcitular class of social situation” .
Rumusan di atas diartikan bahwa sikap mengandung tiga komponen yaitu
1. komponen kognitif,
2. komponen afektif dan
3. komponen tingkah laku.
Sikap selalu berkenaan dengan suatu obyek dan sikap terhadap obyek ini disertai dengan perasaan positif atau negatif. Secara umum dapat disimpulkan bahwa sikap adalah suatu kesiapan yang senantiasa cenderung untuk berprilaku atau bereaksi dengan cara tertentu bilamana diperhadapkan dengan suatu masalah atau obyek.
Menurut Baharuddin (1982:34) mengemukakan bahwa :”Sikap ilmiah pada dasarnya adalah sikap yang diperlihatkan oleh para Ilmuwan saat mereka melakukan kegiatan sebagai seorang ilmuwan. Dengan perkataan lain kecendrungan individu untuk bertindak atau berprilaku dalam memecahkan suatu masalah secara sistematis melalui langkah-langkah ilmiah.
Beberapa sikap ilmiah dikemukakan oleh Mukayat Brotowidjoyo (1985 :31-34) yang biasa dilakukan para ahli dalam menyelesaikan masalah berdasarkan metode ilmiah, antara ;ain :
1. Sikap ingin tahu :
apabila menghadapi suatu masalah yang baru dikenalnya,maka ia beruasaha mengetahuinya; senang mengajukan pertanyaan tentang obyek dan peristiea; kebiasaan menggunakan alat indera sebanyak mungkin untuk menyelidiki suatu masalah; memperlihatkan gairah dan kesungguhan dalam menyelesaikan eksprimen.
2. Sikap kritis :
Tidak langsung begitu saja menerima kesimpulan tanpa ada bukti yang kuat, kebiasaan menggunakan bukti – bukti pada waktu menarik kesimpulan; Tidak merasa paling benar yang harus diikuti oleh orang lain; bersedia mengubah pendapatnya berdasarkan bukti-bukti yang kuat.
3. Sikap obyektif :
Melihat sesuatu sebagaimana adanya obyek itu, menjauhkan bias pribadi dan tidak dikuasai oleh pikirannya sendiri. Dengan kata lain mereka dapat mengatakan secara jujur dan menjauhkan kepentingan dirinya sebagai subjek.
4. Sikap ingin menemukan :
Selalu memberikan saran-saran untuk eksprimen baru; kebiasaan menggunakan eksprimen-eksprimen dengan cara yang baik dan konstruktif; selalu memberikan konsultasi yang baru dari pengamatan yang dilakukannya.
5. Sikap menghargai karya orang lain,
Tidak akan mengakui dan memandang karya orang lain sebagai karyanya, menerima kebenaran ilmiah walaupun ditemukan oleh orang atau bangsa lain.
6. Sikap tekun :
Tidak bosan mengadakan penyelidikan, bersedia mengulangi eksprimen yang hasilnya meragukan’ tidak akan berhenti melakukan kegiatan –kegiatan apabila belum selesai; terhadap hal-hal yang ingin diketahuinya ia berusaha bekerja dengan teliti.
7. Sikap terbuka :
Bersedia mendengarkan argumen orang lain sekalipun berbeda dengan apa yang diketahuinya.buka menerima kritikan dan respon negatif terhadap pendapatnya.

Lebih rinci Diederich mengidentifikasikan 20 komponen sikap ilmiah sebagai berikut :
Selalu meragukan sesuatu.
Percaya akan kemungkinan penyelesaian masalah.
Selalu menginginkan adanya verifikasi eksprimental.
T e k u n.
Suka pada sesuatu yang baru.
Mudah mengubah pendapat atau opini.
Loyal terhadap kebenaran.
Objektif
Enggan mempercayai takhyul.
Menyukai penjelasan ilmiah.
Selalu berusaha melengkapi penegathuan yang dimilikinya.
Tidak tergesa-gesa mengambil keputusan.
Dapat membedakan antara hipotesis dan solusi.
Menyadari perlunya asumsi.
Pendapatnya bersifat fundamental.
Menghargai struktur teoritis
Menghargai kuantifikasi
Dapat menerima kenyataan dan,
Dapat menerima pengertian generalisasi

Komentar

Postingan populer dari blog ini