Materi Kuliah SMT 1 Fakultas Hukum

Penahanan, Hak Tersangka, Terdakwa dan Penuntutan

Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang dalam semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan.

1.berhak untuk diberitahu penahanan itu oleh pejabat yang melakukan penahanan kepada keluarganya.
2.atau kepada orang lain yang serumah dengan dia
3.atau kepada orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum
atau jaminan bagi pengguhan penahanannya. (Pasal 59 KUHAP).

Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan pihak keluarga atau dengan orang lain guna mendapat jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk asaha mandapatkan bantuan hukum. (Pasal 60 KUHAP).

Demikian gambaran umum hak yang diberikan undang-undang kepada tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan, akan tetapi penjabaran pelaksanaan penerapan hak itu belum diatur secara terinci dalam KUHAP. Berkaitan dengan hak tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan maka ia berhak untuk mengajukan penangguhan penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 KUHAP. Memperhatikan ketentuan Pasal 31 pengertian penangguhan penahanan tersangka atau terdakwa dari penahanan sebelum batas waktu penahanannya berahir.

Tahanan yang resmi dan sah masih ada dan belum habis, namun pelaksanaan penahanan yang masih harus dijalani tersangka atau terdakwa ditangguhkan, sekalipun masa penahanan yang diperintahkan kepadanya belum habis dengan adanya penangguhan penahanan, seorang tersangka atau terdakwa dikeluarkan dari tahanan pada saat masa tahanan yang sah dan resmi sedang berjalan.

Mengenai masalah penangguhan penahanan yang diatur dalam Pasal 31 KUHAP belum secara keseluruhan mengatur bagaimana tata cara pelaksanaannya, serta bagaimana syarat dan jaminan yang dapat dikenakan kepada tahanan atau kepada orang yang menjamin, sedangkan tentang alasan penangguhan penahanan tidak ada disinggung dalam Pasal 31 KUHAP maupun dalam penjelasan Pasal tersebut. Jika ditinjau dari segi yuridis, mengenai alasan penangguhan dianggap tidak relevan untuk dipersoalkan. Persoalan pokok bagi hukum dalam penangguhan berkisar pada masalah syarat dan jaminan penangguhan.

Akan tetapi sekalipun undang-undang tidak menentukan alasan pengguhan dan memberi kebebasan serta kewenangan penuh kepada intansi yang menahan untuk menyetujui atau tidak menangguhkan, sepatutnya intansi yang bersangkutan mempertimbangkan dari sudut kepentingan dan ketertiban umum dengan jalan pendekatan sosiologis, psikologis, preventif, korektif dan edukatif. Yang menjadi persoalan adalah mengapa dalam kenyataannya terhadap pelaku tindak pidana penyalagunaan psikotropika tidak diberlakukan penangguhan penahanan, sedangkan dalam KUHAP sendiri disebutkan dengan jelas bahwa tersangka atau terdakwa berhak untuk mengajukan penangguhan penahanan.

Pasal-pasal yang terkait dengan uraian diatas terdapat pada UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan penjelasan sebagai berikut:

Pasal 31

(1) Atas permintaan tersangka atau terdakwa, penyidik atau penuntut umum atau hakim, sesuai dengan kewenangan masing-masing, dapat mengadakan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan uang atau jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan.
(2) Karena jabatannya penyidik atau penuntut umum atau hakim sewaktu-waktu dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 59

Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan, kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya.

Pasal 60

Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatkan bantuan hukum.

Sedangkan pada aturan pendukung lainnya, telah terdapat Surat Edaran Kejaksaan Agung nomer 005/A/JA/09/2006 yang ditandatangani pada 7 September 2006. Dalam surat edaran tersebut memuat tiga poin penting. Pertama, setiap penangguhan penahanan terhadap tersangka (pasal 31 ayat 1 UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana), wajib dilaporkan untuk mendapat persetujuan jaksa agung. Kedua, setiap pengalihan jenis penahanan satu ke jenis penahanan lain terhadap tersangka (pasal 23 ayat 1 UU No 8 Tahun 1981) juga wajib dilaporkan untuk mendapatkan persetujuan jaksa agung. Kecuali, pengalihan jenis penahanan kota atau rumah menjadi tahanan rutan (rumah tahanan). ketentuan ini berlaku untuk semua kasus yang ditangani jaksa, baik sebagai penyidik maupun penuntut umum alias JPU. Kebijakan tersebut didasarkan pasal 2 ayat 3 UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI yang menyebutkan bahwa kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan. Sehingga yang dimaksud adalah ketentuan tersebut berlaku dan di terapkan oleh semua kejaksaan, baik di tingkat kejaksaan negeri maupun kejaksaan tinggi.


Pasal-pasal yang terkait dengan uraian diatas terdapat pada UU No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan penjelasan sebagai berikut:

Pasal 23 ayat 1

(1) Penyidik atau penuntut umum atau hakim berwenang untuk mengalihkan jenis penahanan yang satu kepada jenis penahanan yang lain sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 22

(1) Jenis penahanan dapat berupa :
a. penahanan rumah tahanan negara; b. penahanan rumah; c. penahanan kota.
(2) Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
(3) Penahanan kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan. (4) Masa penangkapan dan atau penahanan dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.
(5) Untuk penahanan kota pengurangan tersebut seperlima dari jumlah lamanya waktu penahanan sedangkan untuk penahanan rumah sepertiga dari jumlah lamanya waktu penahanan.

Pasal-pasal yang terkait dengan uraian diatas terdapat pada UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI dengan penjelasan sebagai berikut:

Pasal 2 ayat 3

(1) Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam Undang-Undang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.
(2) Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka.
(3) Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah satu dan tidak terpisahkan.

(Sumber : Rudhy Sinyo dari berbagai resourse)


1. Pengertian penuntutan
Di dalam pasal 1 butir 7 KUHAP, penuntutan adalah tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Penuntutan adalah wewenang Jaksa/Penuntut Umum, yang berdasarkan yang diatur dalam pasal 1 butir 6 KUHAP juncto pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004. Seperti yang dijelaskan juga dalam definisi Wirjono Projodikoro, yaitu menuntut seseorang terdakwa di muka hakim adalah menyerahkan perkara seseorang terdakwa dengan berkas perkara kepada hakim dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutus perkara pidana itu kepada terdakwa. Perbedaannya adalah dalam definisi Wirjono Projodikoro disebut dengan tegas “terdakwa” sedangkan dalam KUHAP tidak ditegaskan.
2. Tahap-tahap penuntutan
Jaksa Penuntut Umum melakukan Penuntutan berdasarkan hasil penyidikan perkara dan penyidik yang disebut dengan Berkas Perkara. Jaksa Penuntut Umum untuk memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik tersebut yang dikenal dengan proses Pra Penuntutan (Preprosecution).
Tugas Jaksa dalam melakukan Pra Penuntutan yang diatur dalam pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP adalah :
1. melakukan penelitian berkas perkara dan memberikan petunjuk guna melengkapi berkas perkara;
2. pemantauan perkembangan penyidikan;
3. penelitian ulang berkas perkara;
4. penelitian tersangka dan barang bukti pada tahap penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti;
5. serta pemeriksaan tambahan, dan lain-lain;
Di dalam Bab XV KUHAP mengenai penuntutan, pasal 137 menyatakan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili. Mengenai kebijakan penuntut, penuntut umum lah yang menentukan suatu perkara hasil penyidikan apakah sudah lengkap ataukah belum untuk dilimpahkan ke pengadilan. Hal ini diatur dalam pasal 139 KUHAP.
Jaksa Penuntut Umum dalam melakukan penelitian berkas perkara difokuskan terhadap kelengkapan formil dan kelengkapan materiil, yaitu :
1. Kelengkapan formil, yakni kelengkapan administrasi teknis justisial yang terdapat pada setiap berkas perkara sesuai dengan keharusan yang harus dipenuhi oleh ketentuan hukum yang diatur dalam pasal 121 dan pasal 75 KUHAP, termasuk semua ketentuan kebijaksanaan yang telah disepakati oleh instansi penegak hukum dan yang telah melembaga dalam praktek penegakan hukum;
2. Kelengkapan materiil, yakni kelengkapan informasi, data, fakta dan alat bukti yang diperlukan bagi kepentingan pembuktian. Kelengkapan materiil ialah perbuatan materiil yang dilakukan tersangka antara lain:
- Fakta-fakta yang dilakukan tersangka.
- Unsur tindak pidana dari perbuatan materiil yang dilakukan.
- Cara tindak pidana dilakukan.
- Waktu dan tempat tindak pidana dilakukan.(Tempus Delictie dan Locus Delictie)
Selanjutnya menurut pasal 140 ayat (1) KUHAP, dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, ia dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan. Jika menurut pertimbangan penuntut umum suatu perkara tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana, dan perkara ditutup demi hukum maka penuntut umum dapat memutuskan untuk menghentikan penuntutan melalui surat ketetapan yang diatur dalam pasal 140 ayat (2) a KUHAP.
Di dalam penuntutan, dikenal 2 asas yaitu :
1. Asas Legalitas, yaitu asas yang mewajibkan kepada penuntut umum untuk melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana. Asas ini merupakan penjelmaan dari asas equality before the Law.
2. Asas Oportunitas, yaitu asas yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk tidak melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melanggar peraturan hukum pidana denga jalan mengesampingkan perkara yang sudah ada terang pembuktiannya untuk kepentingan umum.
Dalam KUHAP, asas ini dikenal dengan “Penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”. Hal ini dinyatakan dalam penjelasan resmi pasal 77 KUHAP yang berbunyi : “Yang dimaksud dengan “penghentian penuntutan” tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”
Maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP mengakui eksistensi perwujudan dari asas oportunitas, sehingga dengan demikian perwujudan asas oportunitas tidak perlu dipermasalahkan, mengingat dalam kenyataannya perundang-undanga positif di Indonesia, yaitu penjelasan resmi pasal 77 KUHAP dan dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI pasal 35 huruf c secara tegas mengatakan bahwa Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Maksud dari tujuan undang-undang memberikan kewenangan pada Jaksa Agung tersebut, adalah untuk menghindarkan timbulnya penyalahgunaan kekuasaan dalam hal pelaksanaan asas oportunitas, sehingga dengan demikian satu-satunya pejabat negara kita yang diberi wewenang melaksanakan asas oportunitas adalah Jaksa Agung dan tidak kepada setiap para Jaksa selaku penuntut umum dan alasannya mengingat kedudukan Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi.
Menurut penjelasan pasal 35 huruf c UU No.16 Tahun 2004, yang dimaksud dengan “kepentingan umum” adalah kepentingan bangsa dan Negara atau kepentingan masyarakat luas. Jadi bukan untuk kepentingan pribadi.
Penyusunan surat dakwaan
a. Pengertian Surat Dakwaan
Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasar dakwaan itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan.
Surat dakwaan adalah surat atau akte yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di muka sidang pengadilan.
Apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, penuntut umum dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan sesuai dengan apa yang diatur dalam pasal 140 ayat (1) KUHAP.
Yang menjadi dasar pembuatan surat dakwaan harus berpedoman dari berita acara pemeriksaan yang sudah dikualifikasi tindak pidananya oleh penyidik.
Surat dakwaan acara (proses) pidana, nampak adanya 2 kepentingan yang tersangkut di dalamnya ialah:
1. Kepentingan dari penuntut umum yang bertindak atas nama negara dan masyarakat.
2. Kepentingan terdakwa yang bertindak atas nama pribadinya untuk membela diri.
Peranan dari surat dakwaan dalam proses pidana dilihat pada pasal 6 ayat (2) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 telah menentukan :”Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang mendapat keyakinan bahwa seorang yang dianggap bertanggung jawab bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.
Hal ini merupakan azas dari Hukum Acara Pidana bahwa surat dakwaan memegang peranan penting sekali dalam proses perkara pidana dan dapat dikatakan sebagai dasarnya dari keseluruhan strafproces.
b. Syarat-syarat surat dakwaan
Menurut ketentuan yang diatur dalam pasal 143 ayat (2) KUHAP terdapat syarat bagaimana sahnya surat dakwaan dan pasal 143 ayat (3) KUHAP bagaimana batalnya surat dakwaan.
Syarat-syarat surat dakwaan berdasarkanpasal 143 ayat (2) KUHAP adalah: “Syarat dakwaan yang diberi tanggal dan ditanda tangani serta berisi :
a. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal agama dan pekerjaan tersangka.
b. Uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Di dalam KUHAP Pasal 143 disebut syarat-syarat seperti tersebut di atas. Syarat yang mutlak ialah dicantumkannya waktu dan tempat terjadinya delik dan delik yang didakwakan.
Apabila dalam membuat surat dakwaan tidak memenuhi syarat-syarat yang terdapat dalam pasal 143 ayat (2) KUHAP dapat batal atau dibatalkan oleh hakim.
Surat dakwaan dapat dibatalkan apabila sudah dibacakan di muka sidang pengadilan dan di mana terdakwa atau penasihat hukumnya mengajukan perlawanan atau eksepsi. Jadi surat dakwaan batal hanya dapat terjadi dalam proses peradilan dan hakimlah yang dapat menentukan batalnya surat dakwaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini